Razia Simbol-simbol Komunis dan “Warning” Terhadap Kebebasan Berekspresi

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti berbicara kepada wartawan saat merilis tersangka pelaku teror di kawasan Sarinah, di gedung Div Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (16/1/2016). Mabes Polri merilis tujuh orang yang tewas saat kejadian, dengan empat orang diduga sebagai tersangka, dua orang korban, dan satu masih didalami identitasnya.

Metrobatam.com, -Aparat penegak hukum gencar melakukan razia terhadap simbol-simbol yang berbau komunis.

Pemutaran film yang dinilai bisa membangkitkan semangat komunisme dibubarkan. Kaus bergambar atau mirip palu arit yang merupakan lambang Partai Komunis Indonesia, disita. Buku-buku tentang komunis atau gerakan kiri, juga bernasib sama.

Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menegaskan, paham komunis tidak boleh lagi tumbuh di Indonesia.

Ia mengatakan, tindakan yang diakukan aparat agar masyarakat tak terbawa euforia komunis dan berekspresi tanpa batas.

Bacaan Lainnya

“Polisi dengan instrumen hukum yang ada melakukan tindakan supaya tidak kebablasan dan tidak dimanfaatkan pihak tertentu,” ujar Badrodin, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta, Kamis (12/5/2016).

Penyebaran paham komunis bertentangan dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Ketahanan Negara.

Ada pula Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No.XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Indonesia.

Badrodin menyatakan, penertiban yang dilakukan kepolisian sudah sesuai aturan hukum yang ada.

Apapun yang berbau komunis dan diduga ada kesengajaan meniupkan lagi arwah PKI, maka harus ditindak.

Jika tidak ditertibkan polisi, kata dia, dampaknya bisa lebih buruk. Polisi mencegah tindakan main hakim sendiri.

“Semua yang kedapatan (berkenaan atribut komunis) ada tindakan hukum disesuaikan dengan ketentuan hukumnya. Kalau memenuhi unsur, ya ancaman hukumannya 10 tahun,” kata Badrodin.

Kebebasan berekspresi

Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar menilai, masyarakat perlu membaca sejarah Indonesia untuk mendapatkan gambaran apa dilakukan PKI pada masa lalu.

Menurut dia, hal ini agar masyarakat memahami alasan pemerintah menetapkan bahwa PKI adalah organisasi terlarang.

Masyarakat diminta menyadari bahwa kebebasan berekspresi itu dibatasi oleh undang-undang.

“Kami tetap mengingatkan kepada masyarakat bahwa kebebasan yang kita miliki harus dimaknai bukan sebagai yang bebas sebebas-bebasnya, tapi bebas yang menghormati aturan hukum yang ada,” kata Boy.

“Mulai kami sadarkan kembali pada masyarakat, mungkin saat ini belum ‘ngeh’, mungkin belum sadar ada hukum,” lanjut dia.

Berlebihan

Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menganggap penertiban penjualan atribut palu dan arit, pembubaran forum diskusi dan penyitaan buku-buku soal PKI merupakan hal yang berlebihan.

“Kalau cuma ekspresi berkumpul, orang menggunakan simbol PKI sebagai candaan, ya terlampau berlebihan kalau ada penindakan hukumnya,” kata Imdadun.

Ia menilai, keresahan masyarakat yang dijadikan alasan polisi melakukan penertiban, tak berdasar.

Justru, kata Imdadun, ketakutan itu muncul karena tindakan yang dilakukan aparat.

Ketakutan terhadap bangkitnya komunisme dianggap sebagai langkah mundur bangsa Indinesia yang sudah berhasil mematikan PKI sejak puluhan tahun silam.

“Tanda-tanda faktual bahwa PKI bangkit kok kayaknya jauh. Kalau ketakutan terhadap kelompok kiri ini terus dibiarkan berlangsung, rekonsiliasi akan macet,” kata Imdadun.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah wajib melakukan upaya serius untuk mengklarifikasi bahwa ketakutan itu tidak perlu.

Selain itu, harus ada penjelasan mengenai paham-paham komunis sehingga tahu batasan-batasan apa saja yang melanggar hukum atau tidak.

Imdadun menilai, UU Nomor 27 Tahun 1999 juga belum spesifik menjelaskan apa dan bagaimana yang bisa dikategorikan menyebarkan ajaran komunis.

“Sehingga di lapangan yang masih berbau PKI sudah seolah melanggar hukum, itu ditindak secara serampangan. Jangan jadikan larangan ini sebagai jaring pukat harimau. Semua yang dianggap ikan digaruk, padahal ada batu, ada karang, akhirnya laut rusak semua,” kata Imdadun. (mb/KM)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *