4,1 Juta Kartu Indonesia Pintar Diberikan Khusus untuk Anak Putus Sekolah

Metrobatam, Palu – Mendikbud Muhadjir Effendi menyebut dari 17,9 juta Kartu Indonesia Pintar (KIP), baru 63 persen yang telah terdistribusi. Sebanyak 4,1 juta dari 17,9 juta KIP tersebut diperuntukkan bagi anak-anak putus sekolah.

“Dari 17,9 juta KIP yang tercetak, 13,8 Juta Kartu Indonesia Pintar dialokasikan untuk pendidikan formal dan sisanya 4,1 juta kita alokasikan untuk anak-anak usia sekolah yang tidak sekolah,” ujar Direktorat Jenderal Paud dan Dikmas Kemendikbud Harris Iskandar di sela-sela Peringatan Hari Aksara International ke 50 di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (20/10).

Harris mengatakan, pihaknya menggandeng TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penangulangan Kemiskinan) untuk memperoleh data anak-anak dari keluarga tidak mampu.

“2,9 juta telah didistribusikan kepada penerima KIP sesuai nama dan alamat. Jadi sudah tidak ada alasan kalau KIP itu menumpuk di satu kantor kecamatan atau kelurahan,” imbuhnya.

Bacaan Lainnya

Harris juga meminta pegiat pendidikan atau Pemda setempat melakukan penyisiran, khususnya untuk anak-anak putus sekolah. Sehingga dapat meningkatkan nilai mutu pendidikan masyarakat Indonesia.

“Kami minta kalau ada tetangga di sekeliling kita atau kerabat yang dirasakan sulit untuk sekolah dan memegang kartu PKH (Program Keluarga Harapan) dapat direkomendasikan untuk KIP ini. Sehingga dapat memberikan motivasi dan mengajak anak putus sekolah tersebut kembali ke sekolah. Mereka juga dapat mengikuti program kesetaraan paket A,B, dan C atau kursus pelatihan,” imbuhnya.

“Selain itu juga Disdik dapat membantu siswa yang telah mendapatkan KIP dan sudah masuk sekolah. Baik itu program kesetaraan atau kursus pelatihan dapat didaftarkan ke Dapodik, sehingga mereka juga bisa mendapatkan BOP (Bantuan Opersional Pendidikan),” lanjut Harris.

Menurut Harris selama ini dinas pendidikan di daerah masih menunggu penerima KIP di kantor. Seharusnya paradigma lama seperti itu sudah ditinggalkan.

“Makanya saya minta teman-teman untuk jemput bola, tinggalkan kebiasaan pelayanan masyarakat yang duduk di kantor. Sekarang turun ke lapangan dan mulai melakukan validasi kembali agar tepat sasaran,” paparnya.

Harris menambahkan pihaknya telah bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dengan harapan agar lembaga sertifikasi kompetensi diakui keberadaannya. Lembaga sertifikasi ini penting dalam menentukan tingkat kompetensi lulusan kursus dan pelatihan di dunia kerja.

“Program ini penting kami bahas agar semua peserta mampu memperkuat peran pendidikan non formal dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja,” pungkasnya. (mb/detik)

Pos terkait