Menko Luhut: Pemerintah Tak Akan Mundur Lawan Freeport

Metrobatam, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pemerintah tidak akan mundur dari aturan terkait perubahan status kontrak karya menjadi Izin usaha pertambangan khusus yang menjadi perdebatan antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.

Sebaliknya, Luhut meminta agar perusahaan multinasional itu menghormati perubahan aturan tersebut.

“Freeport harusnya sadar ini adalah B to B (business to business) jadi tidak ada urusan ke negara. Freeport sudah hampir 50 tahun di sini. Tentu mereka juga harus menghormati undang-undang kita,” kata Luhut di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Senin (20/2).

Selain itu Luhut juga mengatakan, Freeport telah berulang kali mengelak dari kewajibannya sebagi perusahaan tambang asing yang beroperasi di Indonesia.

Bacaan Lainnya

Sejak tahun 2009 misalnya, perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini tidak memenuhi kewajibannya membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter).

“Sekarang pemerintah (Indonesia) tidak mau mundur. Setelah 50 tahun masa kita tidak boleh mayoritas,” kata dia.

Selain itu, Luhut juga dengan tegas menolak melakukan negosiasi selama 120 hari sejak Freeport mengirim surat pemberitahuan pelanggaran KK yang diklaim dilakukan oleh pemerintah. Luhut menegaskan, pemerintah tidak bisa diatur oleh perusahaan itu. “Tidak lah, masa iya kita diatur,” kata Luhut.

Lebih lanjut, Luhut menyatakan jika perusahaan tersebut tetap menolak melakukan kewajibannya, maka justru akan merugi sendiri. Hal itu mengingat waktu kontrak mereka akan habis di tahun 2021.

Sementara, terkait kemungkinan perusahaan itu akan hengkang dari Indonesia karena permasalahan ini, Luhut mengaku tidak ambil pusing. “Kontraknya saja mau habis 2021 nanti,” kata Luhut.

Pemerintah Tak Langgar Kontrak
PT Freeport Indonesia telah menghentikan kegiatan produksinya sejak 10 Februari 2017 lalu. Para pekerja tambangnya di Mimika, Papua, yang berjumlah puluhan ribu sudah dirumahkan. Jika ini terus berlangsung perekonomian di Papua akan ikut goyang. Lebih dari 90% produk domestik bruto regional (PDRB) Kabupaten Mimika, sekitar 37% PDRB Provinsi Papua berasal dari Freeport.

Puluhan ribu pekerjanya pun mengancam akan menduduki kantor-kantor pemerintah, bandara, dan pelabuhan kalau pemerintah tak segera memulihkan kegiatan produksi Freeport.

Pangkal masalahnya, Freeport membutuhkan kepastian dan stabilitas untuk investasi jangka panjangnya di Tambang Grasberg, Papua. Sedangkan pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pada 10 Februari 2017 lalu, pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada Freeport sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Jika tak mau menerima IUPK, Freeport tak bisa mengekspor konsentrat tembaga, kegiatan operasi dan produksi di Tambang Grasberg pasti terganggu.

IUPK bukan kontrak, posisi pemerintah sebagai pemberi izin jadi lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin. KK memposisikan pemerintah dan Freeport sebagai 2 pihak yang berkontrak dengan posisi setara. Ini adalah langkah pemerintah untuk memperkuat penguasan negara terhadap kekayaan alam.

Tapi Freeport tak mau begitu saja mengubah KK-nya menjadi IUPK. Sebab, IUPK dinilai tak memberikan kepastian, pajaknya bisa berubah mengikuti aturan perpajakan yang berlaku (prevailing), tak seperti KK yang pajaknya tak akan berubah hingga masa kontrak berakhir (naildown).

Selain itu, pemegang IUPK juga diwajibkan melakukan divestasi hingga 51%. Freeport keberatan melepas saham hingga 51% karena itu berarti kendali atas perusahaan bukan di tangan mereka lagi, saham mayoritas dipegang pihak lain.

Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional karena menilai pemerintah telah melanggar KK.

President dan CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, dalam pernyataannya kemarin menegaskan bahwa Freeport tak dapat menerima IUPK. Pihaknya dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport akan mengambil jalan Arbitrase untuk mempertahankan hak-haknya.

Terkait polemik ini, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran KK seperti yang dituduhkan Freeport. Ia berpendapat bahwa pemerintah justru berupaya mencarikan jalan terbaik buat Freeport.

Dalam pasal 170 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba), pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian mineral dalam waktu 5 tahun sejak UU diterbitkan, alias 2014.

KK tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pasal 1337 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan bahwa perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum.

Pemerintah sudah berbaik hati dengan memberikan relaksasi selama 3 tahun hingga 11 Januari 2017 lewat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 (PP 1/2014), tapi Freeport tak juga membangun smelter. Satu-satunya jalan agar Freeport dapat tetap mengekspor konsentrat adalah dengan mengubah KK menjadi IUPK karena UU Minerba memungkinkannya.

“Tidak ada pelanggaran KK. Justru pemerintah mau kasih jalan keluar buat pemegang KK seperti Freeport. Kalau mengikuti pasal 170 UU Minerba, kan mati Freeport. Pemerintah masih berbaik hati untuk kasih solusi,” kata Hikmahanto kepada detikFinance, Selasa (21/2).

Pemerintah juga tidak memaksa Freeport untuk berubah menjadi IUPK, KK tidak diakhiri secara sepihak. “Kalau mau tetap memegang KK juga tidak masalah asal memperhatikan pasal 170 UU Minerba. Pemerintah kasih alternatif kok. Buktinya perusahaan tambang lain ada yang memilih untuk berubah jadi IUPK seperti Amman Mineral dan tetap memegang KK seperti Vale Indonesia,” paparnya.

Solusi yang diberikan pemerintah, menurutnya, sudah maksimal yang bisa diberikan. Dengan kebijakan yang dibuat saat ini, pemerintah sebenarnya menanggung risiko besar. Akan ada pihak-pihak yang menganggap pemerintah berpihak pada kepentingan Freeport dengan masih mengizinkan ekspor.

“Pemerintah sudah banyak berkorban, Freeport yang mau menang sendiri. Bahkan main gertak dengan mengancam akan ke Arbitrase. Sekarang kalau Freeport mau tetap berusaha di Indonesia ya ikuti aturan yang berlaku, jangan mau menang sendiri,” tegasnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait