Pemerintah Mengaku Belum Tahu Inti Tuntutan Freeport

Metrobatam, Jakarta – Pemerintah mengaku belum mengetahui poin tuntutan PT Freeport Indonesia, jika perusahaan tambang yang berbasis di Amerika Serikat tersebut resmi menempuh jalur peradilan internasional atau arbitrase.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengungkapkan, Kementerian ESDM masih akan melihat langkah-langkah yang akan diambil anak usaha Freeport McMoran Inc ini terkait kesepakatan aturan izin rekomendasi ekspor dengan ketentuan status Kontrak Karya (KK).

“Nanti kami lihat. Saya juga enggak tahu tuntutan mereka apa. Kan belum tahu,” kata Arcandra di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (21/2).

Memang, ia melanjutkan, diskusi alot terjadi dalam mencari kesepakatan. Freeport bersikeras, bahkan berhenti berproduksi sejak 10 Februari 2017 karena pemerintah mengharuskan perusahaan yang ingin tetap mengekspor mineral agar mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK).

Bacaan Lainnya

Freeport keberatan karena pemegang IUPK diwajibkan divestasi hingga 51 persen yang berarti kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Hal ini menjadi dasar rencana Freeport menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional.

Namun, Archandra menuturkan, Kementerian ESDM masih berupaya mencari jalan keluar. Hal ini pun sudah dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. “(Arahan Jokowi) Cari jalan terbaik, tidak melanggar hukum. Itu saja,” terang dia.

Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan bahkan mengancam balik Freeport. Jonan menegaskan, pemerintah juga berhak melaporkan Freeport kepada arbitrase.

Senada dengan Jonan, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bilang, Freeport harus angkat kaki dari Indonesia apabila kalah dalam arbitrase. Ia menilai, hal tersebut sebagai akibat dari keputusan yang diambil Freeport sendiri.

Bea Cukai Klaim Penerimaan Aman
Direktur Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengklaim penerimaa bea keluar masih aman dan sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017, meskipun ekspor mineral PT Freeport Indonesia terganggu.

Ia menjelaskan, pemerintah telah mengasumsikan tidak ada kegiatan ekspor mineral dan batu bara dalam penerimaan bea keluar tahun ini.

“Asumsi dari bea keluar yang kami tetapkan tahun kemarin untuk target 2017 tanpa ada ekspor minerba. Misalnya, ekstrem tidak ada ekspor, maka tidak masalah,” ujarnya, seperti dikutip Antara, Selasa (21/2).

Target penerimaan bea keluar dalam APBN 2017 sebesar Rp340 miliar. Freeport dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara eks Newmont Nusa Tenggara adalah kontributor terbesar penerimaan bea keluar konsentrat tembaga.

Dalam dua tahun terakhir, Freeport Indonesia menyumbang Rp1,39 triliun pada 2015 dan Rp1,23 triliun pada 2016. Sementara, Amman Mineral Nusa Tenggara berkontribusi sebesar Rp1,309 triliun pada 2015 dan Rp1,25 triliun pada 2016.

Menurut Heru, DJBC akan terus memonitor perkembangan permasalahan yang terjadi di Freeport Indonesia. Ia menegaskan, DJBC hanya akan melayani pelaku usaha yang mempunyai surat persetujuan ekspor (SPE).

“Selama ada SPE akan kami layani. Sampai dengan sekarang, untuk Freeport kami belum menerima SPE,” katanya.

Sebelumnya, Freeport Indonesia telah menghentikan produksi sejak 10 Februari 2017. Permasalahan tersebut bermula saat pemerintah menginginkan kendali yang lebih kuat atas kekayaan sumber daya mineral.

Pemerintah telah menyodorkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK), namun Freeport keberatan dengan skema tersebut. Alasannya, pemegang IUPK diwajibkan untuk melakukan divestasi hingga 51 persen. Itu berarti, kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka.

Freeport juga berencana untuk menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional terkait KK. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait