Jokowi Angkat Bicara soal Soal Inpres BLBI Megawati

Metrobatam, Jakarta – Presiden Joko Widodo meminta publik memahami perbedaan makna pembuatan dan pelaksanaan kebijakan presiden. Ia menuturkan hal itu untuk menanggapi perkara dugaan korupsi pada penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Instruksi presiden itu adalah sebuah kebijakan. Itu untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Pelaksanaan itu wilayah yang berbeda,” ujar Jokowi di Jakarta Convention Center, Rabu (26/4).

Lebih dari itu, Jokowi enggan mengomentari dugaan korupsi yang terjadi belasan tahun lalu itu. Ia meminta pers mengkonfirmasi pelaksanaan kebijakan yang dibuat Presiden kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri kepada KPK.

Pada Desember 2002, Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden 8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajiban atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajiban berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Bacaan Lainnya

Berlandaskan Inpres tersebut, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Sjafruddin Temenggung mengeluarkan SKL untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada April 2004.

Keputusan yang kemarin menyebabkannya dijadikan tersangka oleh KPK. SKL itu diduga terbit tak sesuai mekanisme yang semestinya dan berpotensi merugikan negara sebesar Rp3,7 triliun.

Megawati Dapat Menjelaskan
Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Yenny Sucipto menilai seharusnya KPK memeriksa Megawati terkait kasus yang menjerat Sjafruddin itu. Yenny menyebut Megawati perlu bersaksi karena SKL yang diterbitkan Sjafruddin didasarkan pada Inpres 8/2002.

“Megawati sebaiknya datang menjelaskan itu,” ucapnya. Yenny optimis KPK berani memanggil tokoh sekaliber Megawati agar kasus BLBI dapat segera tuntas.

Melalui Inpres itu, Megawati memerintahkan tujuh pejabat negara mengambil langkah yang dianggap perlu untuk PKPS dalam kasus BLBI.

Tujuh pejabat itu adalah Menko Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Menteri BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua BPPN.

Pada periode 1997 hingga 1998, sejumlah bank yang memiliki saldo negatif akhirnya mengajukan permohonan likuiditas kepada Bank Indonesia. Belakangan, bantuan itu diselewengkan.

Pemerintah mengucurkan Rp144,53 triliun untuk 48 bank dan BPPN dibentuk untuk menagih kewajiban para obligor. Pemerintah lantas merilis SKL kepada setidaknya lima obligor, yakni BCA, Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Umum Nasional, Bank Surya, dan Bank Risjad Salim Intenational.(mb/cnn indonesia)

Pos terkait