Ini Alasan Pemerintah Setujui Penghayat Masuk Kolom Agama di KTP

Metrobatam, Jakarta – Pemerintah menyetujui Penghayat Kepercayaan masuk dalam kolom agama di KTP. Saat ini, Penghayat Kepercayaan harus mengosongkan kolom agamanya di KTP sehingga mengalami perilaku diskriminatif.

Sikap pemerintah itu dituangkan Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menkum HAM Yasonna Laoly dalam pendapat hukum/legal opinion menanggapi gugatan Penghayat Kepercayaan. Dalam gugatannya, para pemohon meminta agar keyakinan mereka tertulis di kolom agama di KTP.

Alasan Pemerintah Setujui Penghayat Masuk Kolom Agama di KTP

“Negara Indonesia tidak hanya memiliki suku bangsa yang beragam, namun juga memiliki agama dan kepercayaan yang beragam,” kata Tjahjo-Yasonna yang dibacakan oleh pejabat Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto sebagaimana tertuang dalam risalah sidang MK yang dikutip detikcom, Senin (8/5).

Bacaan Lainnya

Saat ini terdapat enam agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Kristen-Katolik, Katolik Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, di samping agama yang resmi itu, di Indonesia juga tumbuh dan berkembang keyakinan lain yang disebut dengan kepercayaan tradisional.

“Dengan adanya diversitas agama di Indonesia, masyarakat Indonesia harus menghargai perbedaan yang ada,” papar Yasonna-Tjahjo dalam sidang pada Desember 2016 lalu.

Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 29 ayat (2) yang menjamin masyarakat memiliki kemerdekaan di dalam beragama. Setiap individu dibebaskan untuk menganut agama yang dipilihnya, dengan demikian tidak ada diskriminasi agama.

“Setiap individu harus menghormati dan memelihara toleransi terhadap kepercayaan masing-masing,” cetus pemerintah.

Keyakinan memegang peranan penting dalam kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini termanivestasi dalam sila pertama Pancasila dan termuat dalam pembukaan konstitusi UUD 1945 sebagai pondasi utama bagi setiap insan yang hidup di dalamnya.

“Perlu kita pahami bersama bahwa pilihan kata yang terkandung dalam sila Pancasila dan dialektik pembukaan konstitusi adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal ini mengandung makna filosofis yang mendalam bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Ketuhanan, bukan Keagamaan, sehingga setiap keyakinan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa diakui oleh Pemerintah,” papar Tjahjo-Yasonna.

Oleh sebab itu, pemerintah mendukung alasan Penggugat guna meminta alasan konstitusionalitas agar Penghayat Kepercayaan agar keyakinan mereka bisa ditulis di kolom agama pada KTP.

“Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap UUD 1945 untuk dapat memberikan putusan yang seadil- adilnya sesuai dengan konstitusional yang berlaku,” katanya.

Sidang gugatan itu atas permohonan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Mereka menggugat Pasal 61 Ayat 1 dan Ayat 2 UU Administrasi Kependudukan ke MK. Pasal tersebut berbunyi:

Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.

Dengan pasal di atas, maka Penghayat Kepercayaan tidak tertulis dalam kolom agama di KTP. Dampaknya, para penggugat mengaku mendapatkan diskriminasi dari negara.(mb/detik)

Pos terkait