Ketika Juz (Qur’an) dan Liqo Menjadi Kode Korupsi

Metrobatam, Jakarta – Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yudi Widiana Adia terseret dugaan suap proyek jalan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Yudi yang telah ditetapkan sebagai tersangka, diduga menerima suap miliaran rupiah dari pengusaha So Kok Seng alias Aseng.

Yudi menerima uang dari Aseng diduga sebagai bentuk komitmen fee memuluskan proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara dalam program aspirasi DPR. Meskipun begitu, Yudi tak berkomunikasi langsung dengan Aseng. Keduanya berkomunikasi melalui perantara Muhammad Kurniawan, anggota DPRD Kota Bekasi yang juga kader PKS.

Uniknya, komunikasi antara Yudi dan Kurniawan menggunakan beragam kode dengan bahasa Arab. Jaksa mengungkapkan pesan singkat di antara keduanya dalam surat dakwaan Aseng yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta 22 Mei 2017.

Pada 14 Mei 2015, Kurniawan memberitahukan Yudi perihal fee sebesar Rp4 miliar terdiri dari mata uang rupiah dan dollar Amerika Serikat yang diserahkan Aseng melalui seseorang bernama Paroli alias Asep.

Bacaan Lainnya

semalam sdh liqo dengan asp ya” (Kurniawan)

naam, brp juz?“ (Yudi)

sekitar 4 juz lebih campuran” (Kurniawan)

itu ikhwah ambon yg selesaikan, masih ada minus juz yg agak susah kemarin, skrg tinggal tunggu yg mahad jambi”. (Kurniawan)

naam.. yg pasukan lili blm konek lg?’ (Yudi)

sdh respon beberapa.. pekan depan mau coba dipertemukan lagi sisanya” (Kurniawan)

Liqo dalam komunikasi antara Kurniawan dan Yudi merupakan bahasa Arab yang artinya pertemuan. Kurniawan menggunakan kata liqo untuk menjelaskan pertemuannya dengan Asep.

Sedangkan juz merupakan bab atau bagian dalam kitab suci umat Islam, Al-Quran. Jawaban ‘4 juz lebih campuran’ menunjukkan jumlah uang sebesar Rp4 miliar yang terdiri dari mata uang rupiah dan dollar Amerika Serikat.

Jaksa menyebut Aseng menyerahkan uang bertahap dua kali masing-masing Rp2 miliar kepada Kurniawan. Pertama kali uang diserahkan di Basement Hotel Alia Cikini Jakarta Pusat.

Kemudian, sesuai dengan arahan Yudi, pada 12 Mei 2015 sekitar pukul 23.00 WIB, Kurniawan menyerahkan uang komitmen fee dari Aseng sebesar Rp 4 miliar melalui Paroli alias Asep.

Selain diduga menyuap Yudi, Aseng didakwa menyuap dua anggota Komisi V DPR lainnya terkait proyek jalan Kementerian PUPR yakni Damayanti Wisnu Putranti dan Musa Zainudin. Damayanti dianggap terbukti menerima suap dan divonis dengan hukuman 4,5 tahun penjara pada September 2016.

Ragam Kode dalam Transaksi Korupsi

Penggunaan kode atau istilah dalam transaksi korupsi sebenarnya bukan hal baru. Dalam perkara korupsi yang terungkap di persidangan, pelaku kerap menggunakan kode samaran untuk menyebut uang saat transaksi.

Dalam kasus korupsi dan suap Wisma Atlet misalnya, terungkap istilah apel Malang, apel Washington, semangka, hingga pelumas sebagai kode transaksi.

Istilah apel Malang merujuk pada uang rupiah, apel Washington berarti uang dollar Amerika Serikat, semangka berarti permintaan dana, dan pelumas yang juga berarti uang. Dari kesaksian salah satu terpidana yakni Mindo Rosalina Manulang, istilah itu diciptakan oleh Angelina Sondakh untuk menutupi transaksi di antara mereka.

Terpidana mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar memilih kata pempek untuk istilah uang saat berkomunikasi suap sengketa pemilihan kepala daerah.

Ahli Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia (UI) Ade Armando mengatakan, penggunaan kode atau istilah dalam transaksi korupsi sengaja digunakan pelaku untuk menyembunyikan dari pihak lain.

“Kode ini biasanya digunakan kelompok kecil untuk berkomunikasi dengan bahasa yang mereka pahami saja. Kenapa? Ya supaya tidak diketahui pihak lain,” ujar Ade kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/5).

Dalam percakapan Yudi dan Kurniawan, kata Ade, bahasa Arab dipilih karena lekat dengan latar belakang politikus PKS yang terbiasa dengan istilah bahasa Arab.

“Kata ‘liqo’ itu istilah di kalangan pesantren saja. Para penggunanya kan dibesarkan dengan tradisi pesantren jadi wajar saja (pakai bahasa Arab),” katanya.

Ade mengatakan, cara komunikasi tergantung dengan latar belakang seseorang. Dia mengatakan mustahil misalnya Angelina Sondakh atau pelaku tindak pidana korupsi lain yang tak akrab dengan bahasa Arab, menggunakan kode dari bahasa tersebut.

Meski demikian, lanjut Ade, penggunaan bahasa Arab tak lantas bisa diartikan secara harfiah. Ade berkata, ada pola-pola tertentu yang tidak bisa dipecahkan begitu saja oleh penyidik KPK dari tiap kode atau istilah yang digunakan.

“Siapa coba yang ngerti istilah 4 juz kalau bukan mereka sendiri. Ini jadi tantangan penyidik, kalau ada kalimat aneh, janggal, lucu bisa jadi kecurigaan bahwa memang ada sesuatu yang salah,” tuturnya.

Ia meyakini, ragam penggunaan kode atau istilah dalam tindak pidana korupsi akan terus berkembang. Sejak istilah apel Malang dan apel Washington mencuat di persidangan, penggunaan kode oleh pelaku tindak pidana korupsi semakin beragam. Menurut Ade, mustahil para pelaku menggunakan kode yang sama saat bertransaksi.

“Saya yakin tidak ada kode yang sama dalam tiap kasus. Mereka cukup pintar untuk tidak menggunakan bahasa yang sama,” katanya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait