Overkapasitas Bikin Napi Kabur, Pidana Kerja Sosial Jadi Solusi

Metrobatam, Jakarta – Sebanyak 448 penghuni rumah tahanan (rutan) Sialang Bungkuk di Pekanbaru, Riau, melarikan diri pada Jumat (5/5). Mereka kabur dari rutannya ke berbagai penjuru.

Satu per satu para penghuni rutan yang kabur itu ditangkap. Ada pula yang kemudian menyerahkan diri kembali ke rutan hingga saat ini masih ada 155 orang yang belum diketahui rimbanya.

Masalah narapidana (napi) kabur bukan sekali dua kali terjadi. Overkapasitas sudah pasti menjadi alasan paling nyata yang dihadapi.

“Sebenarnya pemerintah perlu lebih serius menyelesaikan persoalan yang bersifat fundamental yaitu adanya regulasi yang berdampak terjadinya over crowded di lapas dan rutan. Over crowded inilah yang sebenarnya menjadi akar dari semua persoalan di lapas dan rutan kita,” ucap Dosen Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) Kemenkum HAM, Akbar Hadi, ketika berbincang, Minggu (7/5) malam.

Bacaan Lainnya

Akbar lalu memaparkan berbagai penyebab yang mendasari terjadinya overkapasitas. Pidana penjara, menurut Akbar, kerap menjadi ujung dari suatu kasus.

“Lebih dari 150 Undang-undang yang berlaku di Indonesia merekomendasikan pidana penjara, bayangkan update status di media sosial saja bisa di penjara,” ujar Akbar.

Selain itu, menurut Akbar, kebijakan agar pecandu atau pemakai narkotika direhabilitasi juga bisa berimbas pada overkapasitas. Kemudian, penyebab lainnya, menurut Akbar, adalah jumlah ideal lapas dan rutan di Indonesia yang tidak seimbang.

“Kebijakan pecandu atau pemakai narkotika bukan direhab tapi dipidana, malah belakangan semakin tinggi pidananya atau di atas 4 tahun. Belum optimalnya penerapan pidana alternatif. Kasus tindak pidana ringan, seperti kasus pencurian sandal, kayu, buah, sayuran dan sebagainya seharusnya tidak perlu dipidana penjara. Berlakunya PP 99 tahun 2012 mengenai pengetatan remisi dan pembinaan luar lapas berdampak, napi yang seharusnya cepat bebas namun harus tetap berada di dalam akibat regulasi tersebut. KUHAP mengamanahkan tiap kabupaten atau kota ada rutan dan lapas, namun kenyataannya hal tersebut tidak terealisasi. Jadi apabila saat ini ada 600 kabupaten atau kota maka seharusnya ada 1.200 lapas dan rutan. Kenyataannya saat ini baru ada 489 lapas dan rutan yang ada di Indonesia,” papar Akbar yang pernah menjadi Kabag Humas Ditjen Pemasyarakatan itu.

Untuk mengatasi itu semua, Akbar pun menyebut ada beberapa solusi yang seharusnya diambil. Salah satunya, menurut Akbar, yaitu dengan menerapkan sanksi pidana alternatif untuk kasus-kasus pidana ringan dengan hukuman selain pidana penjara.

“RUU KUHP segera disahkan menggantikan KUHP yang peninggalan zaman Belanda itu. Muatannya lebih banyak menerapkan sanksi pidana alternatif daripada pidana penjara, seperti pidana denda, pidana ganti rugi, pidana kerja sosial, pidana bersyarat, dan sebagainya,” ucap Akbar.

Selain itu, solusi lain yang disebut Akbar yaitu dengan revisi PP nomor 99 tahun 2012. Kemudian ada pula agar pecandu atau pemakai narkoba untuk direhabilitasi dibandingkan malah dipenjarakan.

“Revisi PP 99 tahun 2012 yang memuat persyaratan yang memungkinkan. Dengan berlakunya PP tersebut lebih banyak menimbulkan persoalan karena diskriminatif, prosedurnya berbelit dan penuh ketidakpastian. Pecandu atau pemakai narkoba sebaiknya direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Lapas bukan tempat yang ideal untuk para pecandu narkotika. Lebih dari 30 persen warga binaan seluruh Indonesia adalah kasus narkotika. Perlu assessment yang kuat apakah yang bersangkutan betul-betul pemakai atau bandar,” ucap Akbar.

“Crash program pembinaan luar lapas melalui penyederhanaan syarat dan prosedur pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan sebagainya. Gandeng pihak ketiga atau swasta untuk membangun lapas-lapas industri. Pihak swasta menyediakan tempat kerja hingga kamar hunian. Manajemen produksi ada pada pihak swasta namun manajemen administrasi pemidanaan dan pengawasan ada pada Kemenkumham,” imbuh Akbar.(mb/detik)

Pos terkait