Setya Novanto, Jago Lobi yang Akhirnya jadi Tersangka Kasus Korupsi e-KTP

Metrobatam, Jakarta – Ketua DPR Setya Novanto seperti tidak berhenti dirundung persoalan hukum. Lima bulan setelah untuk kedua kalinya menduduki jabatan nomor satu di badan legislatif, Setya ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP.

Setya yang selama ini dikenal sebagai pelobi ulung tak pernah terseret dalam jerat penindakan hukum meskipun kerap disebut ikut terlibat pada sejumlah kejahatan.

Pada periode pertamanya menjadi anggota DPR, yakni pada 2009-2014, lembaga perbankan yang bernaung di bawah perusahaan Setya masuk jerat kasus pengalihan hak utang (cessie) Bank Bali.

Korporasi Setya kala itu, PT Era Giat Prima, diduga menerima uang sebesar Rp500 miliar dari Bank Bali. Tidak seperti dua rekan bisnisnya di perusahaan itu, nama Setya tidak masuk daftar jerat penegak hukum.

Bacaan Lainnya

Serupa, Setya juga lolos dari dua kasus pidana lainnya, yakni dugaan korupsi pengadaan beras dari Vietnam pada 2003 dan perkara korupsi proyek PON 2012. Sampai di meja pemeriksaan sebagai saksi, Setya melenggang bebas dari jerat hukum pada dua kasus itu.

Di luar jejaknya pada sejumlah kasus korupsi dan suap, Setya merupakan kader Partai Golkar tulen. Pada usia 35 tahun, Setya dilantik menjadi orang nomor satu Gerakan Muda Kosgoro, sayap organisasi pendiri partai beringin.

Delapan tahun berselang, di akhir rezim Orde Baru yang ditopang Golkar, Setya naik pangkat. Namanya masuk dalam struktur dewan pimpinan pusat sebagai wakil bendahara.

Di selang waktu itu, walaupun sibuk mengurus berbagai perusahaannya, Setya sempat menulis buku biografi Presiden kedua Soeharto. Melalui proses penulisan buku berjudul Manajemen Presiden Soeharto itu, Setya memupuk hubungan baik dengan trah Cendana.

Kini Setya benar-benar terjerat penindakan hukum yang dilakukan KPK. Status yang menodai karier politik yang dibangunnya selama puluhan tahun.

Setya yang selalu tampil tenang di muka publik tak bisa melobi prinsip persamaan hukum yang saat ini menjeratnya. Ia harus sejenak menanggalkan prinsip politiknya yang gemilang bahwa, “tidak ada kemenangan tanpa keberhasilan konsolidasi.”(mb/cnn indonesia)

Pos terkait