‘Tahun Politik Sulit Bedakan Kelompok Nasionalis dan Radikal’

Metrobatam, Jakarta – Pengamat politik sekaligus Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampow menilai tahun politik 2018 sulit membedakan antara kelompok nasionalis dan kelompok radikal. Dia meminta masyarakat berhati-hati dalam menentukan pilihan politik.

“Kelompok radikal itu seperti penyusup. Kadang tidak terlihat lagi, mana yang nasionalis dan menjunjung tinggi demokrasi, mana yang radikal. Apalagi untuk kepentingan elektoral,” kata Jerry dalam diskusi bertajuk ‘Kekuatan Nasionalisme dalam Kepungan Kelompok Radikal’ di Hotel Aryaduta Semanggi, Senin (19/2).

Dia menilai terkikisnya nasionalisme di Indonesia disebabkan oleh sistem pemerintahan Orde Baru yang tidak mampu membangun akar nasionalisme yang kuat.

“Saat orde baru, nasionalisme itu sifatnya represif, munculnya dari ketakutan, dan tidak menghargai perbedaan. Individu-individu yang beragam dipaksa menjujung tinggi nasionalisme persamaan,” katanya.

Bacaan Lainnya

Di tempat yang sama, Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Bidang Kajian Strategis dan Intelijen, Viktus Murin mengatakan masyarakat mengalami ketakutan dan pengekangan semasa Orde Baru. Sehingga banyak orang berpikir bahwa negara bisa diubah menjadi apa saja setelah reformasi.

Menurutnya, hal ini memicu munculnya kelompok radikal yang tidak memahami konsep nasionalisme yang sesungguhnya.

Viktus mengatakan seluruh masyarakat berkewajiban menjaga dan mewariskan nilai-nilai nasionalisme kepada generasi selanjutnya, agar pertumbuhan kelompok radikal bisa dicegah. “Perlu dilakukan secara sadar, demi memperkuat nasionalisme,” katanya.

Pertarungan Jokowi dengan Kaum Radikal

Sebelyumnya Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens memprediksi pilpres 2019 mendatang bakal menjadi pertarungan antara kubu nasionalis melawan kelompok radikal.

“Pilpres 2019 akan menjadi pertarungan nasionalisme dan radikalisme,” ujar Boni dalam diskusi bertajuk Ke mana Arah Politik Kelompok Radikal di Pilpres 2019 yang dihelat di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (13/12).

Boni menyebutkan beberapa alasan yang mendasari asumsi tersebut. Pertama, mengenai kelompok Islamis yang selama ini menentang kepemimpinan Presiden Joko Widodo beserta partai-partai pendukungnya.

Menurutnya, kelompok tersebut bernuansa radikal karena kerap melontarkan wacana NKRI Syariah di berbagai aksinya. Salah satu kelompok yang dimaksud Boni adalah Alumni 212.

Alasan lain yang mendasari asumsi itu adalah ada partai politik yang menunggangi kelompok tersebut. Dia mengatakan, LPI selama ini mengamati gerak-gerak partai politik yang berusaha memanfaatkan kelompok radikal demi mewujudkan kepentingannya.

Baik parpol maupun kelompok radikal, kata Boni, mereka bersatu demi mewujudkan kepentingan masing-masing. “Parpol ingin meraih kekuasaan di 2019, (sementara) yang radikal ingin mewujudkan mimpi NKRI Syariah,” ucap Boni.

Di sisi yang lain, ada kelompok Pancasilais yang selama ini menolak wacana negara Islam, yaitu kubu pendukung Presiden Joko Widodo.

Boni berpendapat, kaum radikal hanya menginginkan dua kandidat capres pada pilpres 2019, yaitu Jokowi dan calon lain yang dinilai pro Islam. Kaum radikal, kata Boni, ingin Jokowi bertanding langsung atau head to head dengan kandidat capres yang didukungnya.

“Maka tak berlebihan kalau saya simpulkan, membela Jokowi di 2019 adalah membela Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” ucap Boni. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait