Masuk Tahun Politik, Haedar Nashir: Suhunya Harus Diturunkan

Metrobatam, Bantul – Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, memiliki sejumlah saran agar masyarakat tak terbelah di tahun politik seperti sekarang ini. Selain itu juga harus dilakukan langkah-langkah khusus agar memanasnya suhu politik bisa diturunkan.

“Kesampingkan ego sektoral. Tetap bahwa kepentingan bangsa itu diutamakan,” kata Haedar kepada wartawan di sela-sela menerima kunjungan petugas pencocokan dan penelitian data (coklit) Pemilu di kediaman, Jalan Sunan Kudus No 1 B, Peleman, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Selasa (17/4).

Haedar menjelaskan, naiknya suhu politik jelang Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019 disebabkan karena di antara masyarakat memiliki pilihan politik berbeda. Menurutnya, pilihan politik yang berbeda lumrah terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia.

“Pemilu itu panas karena ada pilihan politik yang berbeda. Keberbedaan pilihan politik itu jangan menjadikan masyarakat terpecah, lalu gesekannya tinggi. Dinamika boleh ada, karena tidak ada demokrasi tanpa dinamika, tanpa perbedaan,” ucapnya.

Bacaan Lainnya

Terkait suhu politik yang mulai memanas, lanjutnya, PP Muhammadiyah sudah mengambil sejumlah langkah. Salah satunya dengan mengumpulkan seluruh elemen partai politik.

“Suhu politik yang memanas itu harus diturunkan, agar tidak makin panas. Cara menurunkannya itu kemarin PP Muhammadiyah sudah mengundang seluruh partai politik dan alhamdulillah responnya positif,” ungkapnya.

“Supaya situasi Pilkada maupun nanti Pemilu nasional 2019 (berlangsung) dengan aman, damai dan demokratis,” tutupnya.

Sementara ketika menanggapi pernyataan yang mendikotomikan partai setan dan partai Allah, Haedar meminta agar masyarakat bisa membedakan bahasa verbal dengan bahasa simbolik. Sebab, apa yang diutarakan Amien adalah bahasa simbolik.

“Baik tokoh maupun warga masyarakat harus punya klik yang nyambung antara bahasa verbal dan bahasa politik (simbolik),” kata Haedar di kediamannya, di Jalan Sunan Kudus No 1 B, Peleman, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Selasa (17/4).

Menurutnya, penggunaan bahasa simbolik sering digunakan politisi maupun tokoh saat beretorika. Namun, terkadang bahasa simbolik yang disampaikan tersebut dimaknai berbeda oleh masyarakat.

“Kadang para politisi maupun tokoh itu kan sering beretorika dengan retorika yang bukan verbal, tetapi simbolik. Nah, retorika verbal dan simbolik itu sering tidak ketemu,” ungkapnya.

“Jadi masyarakat menerimanya secara verbal, bahwa setan itu setan beneran. Lalu (masyarakat) memaknainya sebagai kenyataan,” lanjutnya.

Haedar melanjutkan, kontroversi yang muncul di tengah-tengah masyarakat hanyalah soal komunikasi politik. “Jadi problemnya di situ (komunikasi) saja,” kata Haedar. (mb/okezone)

Pos terkait