Sejak 1994, Internet ‘Ajari’ Cara Gulingkan Soeharto

Metrobatam, Jakarta – Ketika gerakan mahasiswa penentang Presiden RI ke-2 Soeharto semakin masif di berbagai daerah, pada Februari 1998, sebuah surat elektronik (surel) alias e-mail masuk ke akun milik Sukardi Rinakit.

Pengirimnya adalah aktivis, penyair, sekaligus Kepala Departemen Budaya Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wiji Thukul. Saat dibuka, bunyi pesannya pendek, namun mengobarkan semangat.

“Hanya ada satu kata: Lawan!” tertulis dalam email tersebut, seperti diungkapkan Sukardi dalam tulisannya yang bertajuk Review: The Internet in Indonesia’s New Democracy, yang dimuat di jurnal Contemporary Southeast Asia, Agustus 2006.

Sukardi menyebut kalimat pendek yang merupakan cuplikan dari puisi Widji berjudul ‘Peringatan’ itu lantas merembet cepat ke milis atau forum internet yang diikuti oleh gerakan mahasiswa saat itu.

Bacaan Lainnya

Penyebaran kata-kata dari Wiji Thukul melalui internet itu pula yang menjadi momentum mengobarkan semangat para aktivis guna menentang Soeharto. Kalimat itu, kata Sukardi, yang saat ini menjabat sebagai anggota Staf Khusus Presiden Jokowi, kemudian menjadi sangat populer karena digunakan sebagai propaganda bagi para aktivis untuk menentang Orde Baru.

Akses Terbatas

Budiman Sudjatmiko, aktivis dari Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada era itu, mengatakan bahwa pihaknya, terutama sayap PRD Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), sudah menggunakan internet untuk berkonsolidasi sejak 1994.

Sebab, ia melihat celah Pemerintah Soeharto dalam mengontrol informasi ada pada internet. Ketika itu, Kementerian Penerangan memperketat dan bahkan membredel berbagai media massa yang kritis terhadap rezim.

“(Internet) memang sudah ada namun tidak secanggih sekarang. [Untuk konsolidasi] kita pas itu pakai Yahoo group, lalu ada handphone, tapi hanya bisa by SMS, lalu komunikasi by email, lalu bikin grup aktivis-aktivis di Indonesia,” kata Budiman kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (15/3).

Penyebaran informasi antargerakan pro-demokrasi pun turut menyebar ke negara lain. Salah satu milis yang paling populer bagi kalangan aktivis saat itu adalah ‘Apakabar’ atau ‘Indonesia-L’.

Ignatius Haryanto dalam bukunya Sensor Tak Mati (2007) mengatakan ‘Apakabar’ dibuat oleh John Mac Dougall, seorang Indonesianis asal Amerika Serikat, di Jakarta pada Oktober 1990. Pada 1998, milis tersebut memiliki keanggotaan mencapai 250.000 orang yang tersebar di 96 negara.

Anggotanya adalah mahasiswa, aktivis organisasi kemasyarakatan, pemuda, dan organisasi nonpemerintah lintas kota maupun negara. Milis itu lantas menjadi wahana perlawanan para aktivis terhadap Soeharto.

Berbagai masukan, saran, artikel dan jurnal tentang penggalangan massa besar bak ‘People Power’ disebar dengan cepat oleh para aktivis negara-negara yang pernah memiliki pengalaman melawan rezim diktator. Misalnya, Filipina, Korea Selatan, Bangladesh, dan Thailand.

“Saya dan teman-teman lain juga belajar-belajar dari aktivis luar negeri cara menggulingkan rezim diktaktor,” aku Budiman.

Tak hanya itu, milis itu turut menyebarkan informasi seputar kekerasan aparat keamanan dan ajakan turun ke jalan untuk berdemonstrasi.

Menurut eks aktivis PRD Mugiyanto, pada saat itu akses masyarakat terhadap internet masih sangat terbatas. Tak semua aktivis memilikinya. Orang-orang yang memiliki akun surel biasanya hanya para pemimpin organisasi.

“Tahun ’95 yang memakai (internet) tidak semuanya, hanya pimpinan-pimpinan saja. Pada masa itu saya sebagai aktivis baru, bukan pimpinan, saya tidak punya akses. Saya gunakan internet sendiri, langsung, pada tahun ’96,” ceritanya.

Ketika itu, Mugiyanto memiliki jabatan sebagai international campaigner dalam organisasinya. Alhasil, ia banyak memanfaatkan internet untuk berkomunikasi dengan jaringan di beberapa negara.

Meski begitu, keterbatasan tak jadi halangan. Para aktivis mengakalinya dengan penggunaan akses internet melalui komputer jinjing secara bersama-sama. Mugiyanto memakainya dengan lima sampai enam orang aktivis lain. Koneksi internet didapat dengan cara mencolokkan kabel LAN ke komputer jinjing itu.

“(Akses internet) Masih sangat limited. Modem juga kami tidak punya. Kita punya laptop itu tahun ’96 dan kalau kita mau pakai internet itu nyoloknya kita pergi ke wartel, pakai kabel telepon,” tuturnya, yang merupakan salah satu korban penculikan Tim Mawar Korps Pasukan Khusus TNI AD itu.

Inspirasi PRD

Akibat proses pertukaran informasi yang intens di dunia maya itu, proses penggalangan kekuatan pun berlanjut di dunia nyata. SMID bergabung bersama aktivis-aktivis di negara lainnya untuk membuat forum resmi bernama Asian Student Association (ASA) yang sekretariatnya berada di Hongkong, pada 1995.

ASA lantas menggelar seminar rahasia di Puncak, Bogor, yang dihadiri oleh utusan-utusan organisasi mahasiswa se-Asia, seperti Korea Selatan, India, Nepal, Bangladesh, Burma, Malaysia, dan Filipina. Mereka datang dengan menyamar sebagai turis.

Para perwakilan ini kemudian berbagi cerita soal cara menggulingkan Ferdinand Marcos di Filipina, Ne Win di Myanmar, dan Chun Doo-hwan di Korsel, pada akhir dekade 1980-an.

“Nah dari situ kita belajar dari kesuksesan-kesuksesan mereka untuk diterapkan di Indonesia,” kata Budiman.

Dampak dari penyebaran informasi soal aktivisme di berbagai negara itu pulalah, terutama Korea Selatan, yang menjadi inspirasi bagi Budiman Sujatmiko untuk membentuk PRD.

Menurutnya, pergerakan PRD saat itu berusaha mengkonsolidasikan kekuatan elemen masyarakat seperti petani, mahasiswa, buruh dan kaum miskin kota untuk bersama ‘memukul’ mundur Soeharto seperti yang terjadi di Korea Selatan.

“Karena untuk memunculkan pergerakan enggak bisa hanya menggunakan diskusi dan seminar terbuka. Itu enggak bisa. Harus ada gerakan masif dengan pimpinan yang jelas dan tanggung jawab yang jelas dengan resiko siap di tanggung,” cetusnya.

Gerakan perlawanan terhadap Soeharto setelah itu, lanjut Budiman, terus mengkristal di dunia maya dan terealisasi di dunia nyata. Bentuknya, aksi-aksi demonstrasi di jalanan di berbagai kota, sejak Januari hingga Mei 1998. Tuntutannya sama: Soeharto harus turun.

“Peran internet saat menggulingkan Soeharto itu sangat penting buat pergerakan aktivis saat itu,” ucap Budiman.

David L. Marcus, dalam tulisannya berjudul Revolusi Indonesia Dikendalikan oleh Internet, yang dimuat oleh The Boston Globe, 23 Mei 1998, mengatakan bahwa orang-orang yang tak sepakat dengan Soeharto berbagi informasi melalui surel. Isinya, kisah-kisah (dugaan) korupsi Soeharto, hingga tips tentang cara melawan tentara.

Menurutnya, peran besar internet dalam pergerakan disebabkan sejumlah hal. Pertama, mampu menghindari sensor oleh Pemerintah terhadap pers; kedua, menyiasati mahalnya pulsa telepon ketika itu.

“Ini adalah revolusi pertama yang menggunakan internet,” kata W. Scott Thompson, profesor bidang politik internasional di Fletcher School of Law and Diplomacy di Universitas Tufts, AS, dikutip dari tulisan Marcus itu. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait