BPS Jawab Tudingan Prabowo soal Kemiskinan: Ngomong Pakai Data

Metrobatam, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Maret 2018 jumlah orang miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 633.000 menjadi 25,95 juta dari kondisi September 2017 yang sebesar 26,58 juta.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2018 sudah berada di posisi single digit, dan merupakan yang pertama dalam sejarah. “Ini adalah untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di angka satu digit. Kalau dilihat semuanya biasanya dua digit. Jadi memang ini pertama kali dan terendah,” jelas dia.

Namun, data-data tersebut tak cukup memuaskan semua pihak. Sejumlah kalangan, hingga para tokoh meragukan angka yang dirilis BPS. Untuk mengetahui faktanya seperti apa, simak selengkapnya.

Harus Mengacu Metode yang Baku

Bacaan Lainnya

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyebut kemiskinan di Era Presiden Joko Widodo (Jokowi) naik 50%. Angkanya jelas berbeda dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Bagaimana Kepala BPS Suhariyanto menanggapi itu?

“Angka dari mana dulu? kalau kita ngomong kan harus pakai data kan,” katanya saat ditemui usai menghadiri diskusi Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (30/7).

“Kalau cuma ngomong, nggak pakai data ya susah ya. Cek saja data yang ada. Jadi kalau sebuah statement nggak ada datanya agak susah kita mengkonfirmasi,” lanjutnya.

Dalam menyampaikan data, Suhariyanto mengatakan metodenya harus jelas dan tidak asal sebut.

“Sekarang kalau kita menghitung metode, metodenya itu kan harus baku ya. Saya bisa saja bilang penduduk miskin 5% loh. Dari siapa (datanya)? ngikutin saya, kan gitu. Atau saya bilang penduduk miskin Indonesia 50%, dari mana? ya pokoknya ngikutin saya saja. Kan nggak bisa gitu,” ujarnya.

“Kita harus mengacu kepada standar metode yang baku, yang biasa dilakukan oleh semua negara. Kayak BPS, tadi saya bilang kita bukan BPS yang bikin metodenya, tapi mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang dibuat oleh lembaga internasional. Diterapkan di negara lain nggak? diterapkan,” tambahnya.

Suhariyanto pun menjelaskan bagaimana pihaknya mengumpulkan data soal kemiskinan hingga didapat angka tersebut. Metodologi yang dipakai BPS adalah dengan pendekatan konsep kebutuhan dasar.

“Perlu dijadikan catatkan bahwa metode ini bukan BPS yang ciptakan, tapi metode ini mengacu guidance internasional, dan metode ini juga dignakan di banyak negara berkembang seperti di Filipina, Vietnam, India, dan Pakistan,” sebutnya.

Dalam pendekatan yang digunakan BPS, kemiskinan dianggap sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi, dimana seseorang harus memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan.

“Jadi kita harus menghitung yang namanya garis kemiskinan yang dibagi menjadi garis kemiskinan makanan, dan non makanan. Penduduk miskin dikatakan miskin kalau pengeluaran per kapitanya berada di bawah garis kemiskinan,” lanjutnya.

Lalu, komponen-komponen terkait kemiskinan itu dihitung. Mulai dari kebutuhan makanan dan non makanan. Garis kemiskinan juga dihitung berbeda untuk setiap provinsi, serta dibedakan antara kota, dan desa.

“Jadi kalau kemarin BPS menyatakan bahwa garis kemiskinan nasional adalah Rp 401.220 itu hanya merupakan rata rata saja. Di sana bisa dilihat DKI garis kemiskinannya Rp 593.000, NTT Rp 354.898,” ujarnya.

Menyentuh Angka 1 Digit

Suhariyanto mengatakan dari tahun 1999 hingga Maret 2018, angka kemiskinan memang baru menyentuh angka 1 digit pada Maret 2018. Hal itu bisa dilihat dari data-data BPS yang sudah ada.

“Apa yang diperoleh BPS, bisa dilihat perkembangan kemiskinan dari tahun 1999 sampai Maret 2018. Jadi pada posisi Maret 2018 ini, memang untuk pertama kalinya persentase kemiskinan memasuki 1 digit 9,82%,” katanya.

Ada beragam faktor yang mendukung penurunan jumlah penduduk miskin menjadi 9,82%. Suharianto menjelaskan, yang pertama adalah karena inflasi rendah. Dari September 2017 hingga Maret 2018, inflasi tercatat hanya 1,92%.

Faktor selanjutnya, rata rata pengeluaran harian untuk 40% lapisan masyarakat terbawah meningkat. Itu didorong oleh bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah.

“Pada triwulan ini bantuan sosial tumbuh lebih bagus 87,6% dibandingkan triwulan 1 2017. Program rastra dan bantuan pangan non tunai juga tersalurkan dengan bagus,” ujarnya.

Faktor berikutnya nilai tukar petani (NTP) yang berada di atas 100. Ini adalah indikator yang mengukur kesejahteraan petani. Jika NTP di atas 100, artinya petani mengalami surplus. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya.

Suhariyanto memaparkan ada pihak yang menilai angka kemiskinan di Indonesia terlalu rendah. Pasalnya, dia dihitung berdasarkan pendapatan per kapita per bulan di angka Rp 401.220. Apa sih arti angka tersebut?

“Ada yang menyatakan garis kemiskinan BPS Rp 401.220 terlalu kecil karena ada yang membagi dengan 30 hari sehingga dapatlah Rp 13.000. Untuk mendapatkan feel apakah garis kemiskinan terlalu kecil atau tidak, saya coba menghitungnya untuk garis kemiskinan per rumah tangga,” jelasnya, Senin (30/7).

Suhariyanto menjelaskan, Rp 401.220 itu untuk pendapatan per orang. Jadi perlu dikalikan dengan jumlah anggota keluarga, yang asumsinya memiliki anak sekitar 2-3 orang.

“Dengan mengalikan garis kemiskinan nasional rata ratanya dengan anggota rumah tangga, garis kemiskinan nasional itu adalah sebesar Rp 1,84 juta. Bukan suatu jumlah yang kecil apalagi kalau kita masuk per provinsi,” terangnya.

Acuan tersebut pun berbeda di masing-masing provinsi. Semisal DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Contoh di DKI dengan garis kemiskinan Rp 593.108, garis kemiskinan per rumah tangga adalah Rp 3,1 juta. Kalau kita masih di bawah UMP, UMP-nya adalah Rp 3,6 juta. Tapi perhatikan misalnya untuk NTT dengan garis kemiskinan Rp 354.000 dikalikan dengan anggota rumah tangga, sebesar 5,9, garis kemiskinannya adalah Rp 2,1 juta,” paparnya.

“Padahal di NTT itu UMP-nya Rp 1,7 juta. Jadi dari gambaran ini sebetulnya garis kemiskinan BPS sama sekali tidak kecil,” tambahnya. (mb/detik)

Pos terkait