PBNU Nilai yang Dilakukan Meiliana Bukan Penodaan Agama, Muhammadiyah Hormati Hukum

Metrobatam, Jakarta – Vonis penjara 18 bulan yang menimpa Meiliana yang protes kerasnya suara azan menjadi pro kontra di sejumlah kalangan, tak terkecuali di PB Nahdlatul Ulama.

Ketua PBNU bidang Hukum, Ham dan Perundang-Undangan Robikin Emhas berpendapat, protes akan suara azan yang keras bukanlah bentuk penistaan agama. Karena itu Robikin berharap agar penegak hukum khusunya pihak kepolisian tidak menjadikan masalah tersebut sebagai delik penodaan agama karena itu merupakan hak seseorang dalam menyatakan pendapat.

Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis, (23/8).

Selanjutnya, ia merujuk pada Pasal 156 KUHP yang berbunyi, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500”.

Bacaan Lainnya

Sedangkan isi Pasal 156a KUHP adalah, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”.

Atas dasar itu Robikin menilai dari kedua pasal tersebut terlihat bahwa si korban tidak ada unsur kebencian atau penghinaan pada golongan tertentu dan Pasal penodaan agama berguna untuk menjaga harmonisasi sosial yng disebabkan oleh perbedaan golongan dan keyakinan yang dianut. Tanpa harus menilai dari putusan pengadilan.

Seperti dimaklumi, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut. Tanpa bermaksud menilai putusan pengadilan, saya tidak melihat ungkapan ‘suara adzan terlalu keras’ sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu,” tambahnya.

Terakhir Robikin Emhas berpesan. Sewajarnya pendapat seperti itu dapat ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat. Dan berharap semua pihak agar dapat menjaga harmonisasi dan toleransi antar umat beragama.

Sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Selain itu, semua pihak diharapkan dapat menjaga harmoni sosial dengan memperkokoh toleransi, termasuk toleransi sesama dan antar umat beragama. Karena dari sini martabat kemanusian dipertaruhkan” tutupnya.

Untuk diketahui, esuai dengan dakwaan Jaksa disebutkan dugaan penodaan agama yang dilakukan Meliana berawal pada Juli 2016 lalu sekira pukul 07.00 WIB. Saat itu, Meliana bertemu dengan Kasini di kedai milknya di Jalan Karya Lingkungan I, Kel Tanjungbalai Kota, Kec Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjungbalai.

Muhammadiyah Hormati Hukum

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menghormati keputusan pengadilan terhadap kasus Meiliana karena mempermasalahkan volume suara azan di masjid sekitar tempat tinggalnya.

“Kami menghormati setiap keputusan pengadilan karena sudah masuk ranah hukum sudah lah apa yang jadi ranah hukum,” kata Haedar di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis (23/8).

Hal ini disampaikan menyikapi vonis terhadap Meiliana hukuman penjara 18 bulan karena terbukti melakuan penodaan agama karena mempermasalahkan volume suara azan di Masjid Al-Makhsum, Medan, yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Haedar menyatakan ranah hukum hanya mengenal hitam dan putih. Sehingga, ia menyarankan Meiliana mengajukan banding jika tidak menerima putusan.

Tetapi secara sosial, menurutnya setiap antarumat beragama harus saling toleransi. “Komitmen Muhammadiyah bagaimana toleransi dan saling memahami. Misalnya masjid tahu bagaimana menjaga perasaan orang yang beda agama, yang di gereja juga begitu,” ucapnya.

Ia juga meminta masyarakat menempatkan permasalahan secara proporsional, tidak terlalu sensitif, serta bisa dewasa sehingga tidak semua masalah berujung dalam ranah hukum.

Mengenai azan, Haedar menyatakan hal itu memang sewajarnya keras karena sebuah panggilan kepada umat Muslim untuk menunaikan salat.

“Kalau di dalam hati tidak kedengaran jemaah. Soal seberapa volume suara itu tentu kan punya kadar masing-masing, bukan soal besar kecil suara azan, begitu juga nanti suara di gereja,” ucap Haedar. (mb/okezone/detik)

Pos terkait