Biaya Pemindahan Ibu Kota Rp 466 T, Menkeu: No Big Deal

Metrobatam, Jakarta – Presiden Joko Widodo mulai kembali serius membahas rencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kota lain di Indonesia. Ini tampak dalam rapat kabinet terbatas yang diadakan di Kantor Presiden, Senin (29/4/2019).

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan ibu kota baru itu akan memerlukan lahan sekitar 30.000 hektare hingga 40.000 hektare tergantung jumlah aparat sipil negara (ASN) yang dipindahkan.

“Kalau soal biaya sudah tadi, kira-kira Rp 466 triliun (untuk 40.000 hektare), kalau 30.000 hektare kira-kira Rp 322 triliun,” ujarnya di Kantor Presiden.

Rupanya, besarnya biaya itu juga sudah dibahas dalam rapat tersebut. “Kalau menurut Menkeu “no big deal” ini karena persentasenya jadi kecil, karena (biaya dari) APBN cuma setengah, lainnya dengan KPBU dan swasta,” tambahnya.

Bacaan Lainnya

Biaya itu pun sebenarnya digunakan untuk proses pemindahan ibu kota yang diperkirakan berlangsung selama lima hingga 10 tahun. Proyeksi pengembangannya adalah dengan membangun ulang pemukiman, area pemerintahan, dan sebagainya, kata Basuki.

“Kalau dulu saya ngobrol dengan Presiden, (lamanya proses pemindahan ibu kota) empat sampai lima tahun, sampai pembangunan selesai. Kalau pindahnya tidak harus sekaligus, bertahap,” tegasnya.

Calon lokasi ibu kota baru itu harus memenuhi beberapa kriteria, seperti harus berlokasi di luar Cincin Api atau Ring of Fire yang rentan bencana alam, memiliki sumber air, memiliki potensi dekat pantai, atau ada akses ke pantai dan memiliki pelabuhan.

Beban Jakarta Sudah Terlalu Berat

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjajaran Yogi Suprayogi Sugandi mengatakan memang ada urgensi sehingga ibu kota perlu dipindahkan. Pertama, beban Jakarta sebagai Ibu Kota negara sudah terlalu besar.

Mulai dari pemerintahan, ekonomi, bisnis, hingga pariwisata, kata Yogi, saat ini terpusat di Jakarta. Menurutnya beban itu sangat berat untuk Jakarta yang hanya memiliki luas daratan 661,52 kilometer persegi (km2).

“Jakarta sudah tidak bisa menampung lagi untuk ibu kota pemerintahan, sangat berat. Jakarta lebih baik jadi kota khusus untuk perekonomian,” kata dia saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (29/4).

Namun Yogi mengingatkan pemindahan ibu kota tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kebijakan ini perlu persiapan sangat matang.

Kesiapan infrastruktur fisik seperti gedung-gedung pemerintahan, jalan, hingga sumber daya manusia, perlu dipersiapkan. Wacana ini, kata dia, tidak bisa terlaksana hanya dalam satu hingga dua tahun ke depan.

“Pembangunan infrastruktur untuk ibu kota baru juga harus dilengkapi infrastruktur masyarakat, apakah siap menghadapi wilayah baru,” ujarnya.

Yogi menambahkan pemindahan ibu kota ini dapat menimbulkan kegaduhan dipicu oleh penolakan dari pihak-pihak yang tak setuju.

Dikatakan Yogi salah satu kelompok yang berpotensi menolak adalah para pegawai pemerintah pusat. Penolakan bisa terjadi karena para pegawai tersebut sudah menetap dan membina kehidupan di Jakarta.

Belum lagi, kata Yogi, suara-suara miring yang muncul dari parlemen. Para politikus bisa jadi akan menolak rencana pemindahan ibu kota.

Yogi berkata perlu dukungan politik yang kuat dari parlemen untuk melaksanakan agenda besar ini. Hal itu diperlukan untuk meredam potensi kegaduhan yang terjadi saat eksekusi pemindahan ibu kota ini.

“Kalau sudah jadi rapat ini, harus dikonsultasikan ke anggota dewan (DPR RI) jadi back up politik kuat, dan harus dihitung dengan matang,” ujar dia.

Selain berpotensi memicu kegaduhan, pemerintah juga perlu memikirkan masalah perubahan peraturan perundang-undangan saat pemindahan ibu kota.

Perubahan tak bisa dihindari karena banyak pasal-pasal yang mencantumkan nama Jakarta sebagai ibu kota.

“Lembaga yudikatif perlu mengubah peraturan perundang-undangan, beberapa peraturan itu banyak memposisikan ibu kota itu di Jakarta,” kata dia.

Jonggol Kembali Disinggung

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebut daerah Jonggol sebagai kandidat ibu kota baru Indonesia.

Hal itu diungkapkannya saat mempresentasikan hasil kajian pemindahan ibu kota saat rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK).

“Kronologi tadi sudah disampaikan bapak presiden dari sejak zaman Soekarno kemudian Pak Harto pernah ada ide ke Jonggol dan saat ini kita membahasnya untuk posisi ibu kota baru,” kata Bambang di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019).

Hanya saja, dari hasil kajian Bappenas tidak menyebutkan Jonggol sebagai kandidat tunggal sebagai wilayah pemindahan ibu kota. Melainkan, kata Bambang, ada tiga kriteria yang bisa merealisasikan wacana tersebut.

Pertama, ibu kota tetap di DKI Jakarta dengan catatan dibangun distrik khusus pemerintahan di daerah seputaran Monas. Di mana, lingkungan Monas nantinya akan menjadi kantor pusat pemerintahan.

Dari kriteria itu, kata Bambang, hanya akan menjadikan DKI Jakarta sebagai pusat segalanya. “Dikhawatirkan dampak urbanisasi terhadap ekonomi tidak optimal,” ujar dia.

Kriteria kedua, kata Bambang, memindahkan ibu kota ke sekitar DKI Jakarta, Di mana, radius jarak dari Jakarta sekitar 60 kilometer (km). Di sini, kata Bambang, ketersediaan lahan menjadi hal yang utama, dan tetap menjadikan Pulau Jawa sebagai kontributor terbesar terhadap perekonomian nasional.

“Misalkan daerah yang pernah dibahas Pak Soeharto yaitu Jonggol, Jawa Barat, maupun daerah Maja yang ada di Banten,” ujar dia.

Kriteria ketiga, kata Bambang, adalah memindahkan ibu kota Indonesia ke luar Pulau Jawa. Seperti halnya yang dilakukan oleh Brasil, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Malaysia. “Kami akan bahas dengan segala kelebihan dan kekurangannya,” ungkap dia. (mb/detik)

Pos terkait