RUU KUHP: Penghina Presiden/Wapres Dihukum 4,5 Tahun Penjara

Metrobatam, Jakarta – RUU KUHP sudah rampung dan akan disahkan DPR. Salah satu isinya adalah pasal penghinaan kepada presiden dengan ancaman maksimal 4,5 tahun penjara. Pasal tersebut pernah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK).

Penghinaan kepada Presiden masuk dalam ‘Bagian Kedua’ Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 218 ayat 1 menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,” demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.

Bacaan Lainnya

Hukuman tersebut diperberat bagi yang menyiarkan hinaan tersebut. Ancamannya dinaikkan menjadi 4,5 tahun penjara.

“Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV,” demikian bunyi Pasal 219.

Apakah setiap orang yang ‘mengkritik’ presiden bisa dipidana? Pasal selanjutnya menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari Presiden atau Wakil Presiden.

“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, MK membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden lewat putusannya pada 2006. Pasal itu dinilai majelis hakim MK bertentangan dengan semangat demokrasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie kala itu, menyebut pencabutan pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena tidak sesuai dengan peradaban demokrasi.

Putusan MK itu atas permohonan yang diajukan Eggy Sudjana. Kala itu, Eggy dililit kasus penghinaan presiden karena menyebut Presiden SBY menerima sejumlah gratifikasi. MK mengabulkan permohonan itu.

“Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum,” ujar MK.

Jadi, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana.

“Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran Pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” demikian bunyi putusan MK yang dibacakan pada 6 Desember 2006.

“Adalah ketentuan yang berlaku universal, dalam tradisi hukum apa pun, bahwa penghinaan merupakan tindak pidana, meskipun substansinya berbeda-beda menurut ruang dan waktu, sehingga apa yang di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu dianggap sebagai penghinaan, belum tentu di tempat lain dan pada waktu yang berbeda juga merupakan penghinaan. Dengan demikian, penghinaan terhadap siapa pun hal itu ditujukan dan dalam hukum pidana negara mana pun adalah perbuatan yang dapat dipidana,” kata Palguna.

Menurut Natabaya dan Roestandi, presiden itu adalah hasil dari distilasi (distillation) rakyat Indonesia sehingga presiden merupakan penjelmaan pribadi dan yang mewakili martabat dan keagungan rakyat itu sendiri (the personal embodiment and representative of people dignity and majesty).

“Seorang presiden itu merupakan simbol dari kedaulatan, kelangsungan dan keagungan/kebesaran (the symbol of sovereignty, continuity and grandeur) dari seorang kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan,” ujar Natabaya. (mb/detik)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *