Sertifikasi Dai, Siasat MUI Atasi Pendakwah Gadungan

Metrobatam, Jakarta – Lebih dari 140 dai dari berbagai wilayah dikumpulkan di Aula Buya Hamka, Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Jakarta Pusat, Senin (25/11).

Mayoritas usia mereka di atas 40 tahun, hanya beberapa yang terlihat lebih muda. Nyaris semua laki-laki, sementara peserta perempuan bisa dihitung jari alias tak sampai sepuluh.

Kebanyakan para dai itu datang dari sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Selain daerah-daerah tersebut, ada pula yang datang dari Pasuruan, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat.

Sepanjang hampir dua jam pertama kegiatan itu diisi materi dari Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Pusat Cholil Nafis, dilanjutkan Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi MUI Pusat, Masduki Baedlowi. Penyampaian materi berlangsung satu arah, tak ada tanya jawab.

Bacaan Lainnya

Ini kali kedua kegiatan Standarisasi Dai MUI digelar. Acara dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, sebagian besar peserta datang lebih pagi dari itu. Seluruh kursi terisi, karena itu peserta yang datang tepat pukul 09.00 WIB terpaksa harus mengambil kursi tambahan.

MUI saat ini tengah menyusun daftar dai-dai yang berhak mendapat sertifikat. Syaratnya tak rumit, setidaknya perlu tiga hal antara lain mengusung ajaran Ahlussunah wal Jamaah, mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan ceramah yang disampaikan tak bikin onar.

“Ada yang mensyaratkan, bisa baca kitab, bisa tasrif. Wah, itu terlalu sulit itu. Ustaz itu kan beda dengan ulama. Katanya [kalau] pemerintah mau sertifikasi ulama. Itu beda,” kata Cholil di hadapan para peserta.

Hal lain yang penting, kata dia, para pendakwah dituntut untuk mampu menyampaikan pengetahuan yang dikuasai. Cholil juga menyarankan agar dai tak memaksakan jika memang tak memahami sebuah tema atau pokok masalah tertentu.

“Jadi kalau kita ditanya hal yang tidak kita tahu, cukup jawablah yang general saja. Biar, kita dianggap tidak nyambung, tidak apa-apa, daripada menyampaikan hal yang keliru,” pesan Cholil.

“Tidak semua hal kita ketahui. Imam Malik pun, tidak semuanya dijawab oleh Imam Malik, apalagi kita-kita ini,” sambung dia lagi.

Nama-nama yang bersertifikat itu nantinya akan direkomendasikan ketika ada lembaga atau instansi pemerintah yang meminta masukan penceramah dari MUI.

Persoalan Dai Televisi

Pengisi materi dalam pertemuan itu bukan hanya dari kalangan ulama atau MUI, ada pula Komisioner Penyiaran Informasi (KPI), Muhammad Reza.

Saat sesi tanya jawab, sejumlah dai yang hadir pun tak mau menyia-siakan kesempatan tersebut.

“Saya pernah ceramah di dua stasiun televisi. Apakah KPI memang mensyaratkan lucu dan lain sebagainya? Jadi yang serius-serius, Al-Quran, sunnah itu tidak laku,” tutur salah seorang peserta ketika diberi kesempatan bicara.

Pertanyaan demi pertanyaan jadi pemantik mula diskusi lantas disusul tanya-jawab lain. Sepanjang sesi hampir-hampir tak ada materi yang yang dipertentangkan.

Atabik Luthfi, seorang pendakwah juga dosen di UIN Syarif Hidayatullah mengaku merasa beruntung MUI menggelar program ini. Setidaknya kata dia, sebagian dai bisa mengetahui rambu-rambu dalam berdakwah dan berbagi pengalaman.

“Ini kan wadah bagi kita untuk menyatukan pandangan, kan kami juga ingin tahu apa yang diinginkan MUI, formatnya apa, frame-nya apa. Sehingga ketika praktik pendakwahan bisa menjalankan dakwah sebaik-baiknya,” ujar Atabik.

Sepanjang rekam jejak berceramah Atabik mengklaim belum pernah menerima protes dari jemaah. Ia pun mengaku mengerti bahwa konsep dakwah sebagai wajah damai bagi umat.

“Kalau di masyarakat middle low ke bawah masih sering terjadi [menyalahkan]. Karena itu, di sini kan terjadi penyamaan, agar hal-hal yang sifatnya khilafiyah atau perbedaan itu tidak dibesar-besarkan lagi. Tapi kita serahkan ke keyakinan masing-masing. Misalnya yang menggunakan qunut, monggo. Yang tidak ya monggo,” tuturnya.

Itu sebab standarisasi yang menurutnya lebih mirip forum silaturahmi tersebut perlu guna menyelaraskan pandangan.

“Agar tidak ada syak wasangka, agar dai satu dan lainnya itu tidak ada suuzan,” kata dia lagi.

Sebenarnya tak banyak pertentangan dalam forum tersebut, bila dari materi dakwah ataupun haluan garis besar yang disampaikan MUI. Diskusi berlangsung lempang bahkan nyaris tak ada interupsi. Mereka sepakat bahwa perlu penyampaian dakwah yang sejuk juga membawa pesan damai. Yang justru terjadi, para dai di ruangan itu gelisah dengan kemunculan dai-dai lain yang tentu hari itu tak ikut dalam forum.

“Ada masih banyak televisi-televisi dalam tanda petik, gadungan. Yang kerjaannya mengkafirkan orang, menyalahkan orang, membid’ahkan orang. Ini kalau tidak segera diputus, maka tugas kita sebagai dai merangkap kiai yang mendinginkan suasana kan malah ….” keluhan salah satu dai itu dibiarkan menggantung, saat mempertanyakan pengawasan KPI.

Penanggap lain mengungkapkan soal kemunculan sejumlah dai yang tenar di media sosial lantas beberapa kali kemudian merambah ke televisi. Padahal tak jarang pernyataan itu rawan memicu kontroversi. Materi ceramah dai itu disebut seringkali viral melalui medsos.

“Dalam konteks media digital sekarang, kalau ranah KPI ini kan pada penyiaran konvensional. Sedangkan persoalan yang terjadi ini pada ranah penyiaran non-konvensional. Ini problem-nya di sini, yang terjadi pembicaraan kan bukan yang di TV,” salah satu peserta Standarisasi Dai MUI turut menuturkan.

Sementara itu salah satu pendakwa perempuan yang hadir, Ade Rina Farida mengatakan perlunya pemahaman menyatukan pandangan, terutama soal keberagaman masyarakat.

“Saya kira itulah yang menjadi concern negara kita saat ini ya, jadi memang kita lagi gencar-gencarnya ke arah moderasi beragama. Itu lah yang harus dipahami mubaligh-mubalighoh bahwa kita tumbuh di tengah keberagaman dan perbedaan,” kata Rina yang juga Sekretaris Fatayat NU Depok, Jawa Barat.

Salah satu dai asal Pasuruan, Bashori Alwi, menuturkan yang paling utama diperhatikan para pendakwah adalah manajemen dakwah.

“Karena kelemahan dai bukan soal materinya saat menyampaikan, tapi kadang mereka ini nggak paham audiensnya siapa. Dakwah itu kan tidak cukup ilmu agama saja, tapi juga manajemen dakwah. Jadi sebelum memberikan materi dakwah khasanah, iqra dulu, baca siapa dia,” ujarnya.

Bashori lantas memberikan contoh kongkret yakni berbagai komunitas dakwah yang dibentuknya di Pasuruan. Di wilayahnya itu, dakwah diberikan untuk pelbagai kelompok seperti untuk tukang becak, tani, maupun pegawai negeri. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait