Dewan Kerajaan Nusantara Tanggapi Viral Keraton Agung Sejagat

Metrobatam, Semarang – Dewan Kerajaan dalam Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) menilai kemunculan Keraton Agung Sejagat yang mengklaim sebagai penerus Kerajaan Majapahit merupakan fenomena yang harus disikapi secara serius.

Salah satu anggota Dewan Kerajaan MAKN, Edward Syah Pernong, mengatakan definisi sebuah keraton bukanlah hal mudah karena harus memiliki sejarah identitas, tradisi hingga rakyat atau abdi. Apalagi, Keraton Agung Sejagat menyebut sebagai penerus Kerajaan Majapahit yang sudah runtuh berabad-abad silam.

“Mungkin jalan pikirannya bisa dianggap orang ‘sakit’ yang ingin menyembuhkan orang ‘sehat’. Mereka ini dibawa oleh fatamorgana,” kata Edward.

“Sebuah struktur kerajaan itu selesai setelah ditaklukkan. Majapahit selesai setelah ditaklukkan oleh Demak. Demak selesai oleh Pajang. Dan, Pajang ditaklukkan Mataram sampai sekarang. Jadi aneh dan lucu kalau ini meneruskan Majapahit,” kata Sultan Sekala Bkhak Yang Dipertuan ke-23 Kepaksian Pernong Lampung tersebut kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/1).

Bacaan Lainnya

Edward mengatakan kemunculan klaim-klaim keturunan kerajaan hingga keraton biasanya muncul dengan beberapa motif, salah satunya adalah motif sosial dan ekonomi.

“Motif sosial, mereka melakukan karena ingin punya harga diri atau strata lebih tinggi. Sedangkan motif ekonomi, pelakunya adalah orang yang memiliki ekonomi lebih, dan beraksinya di daerah yang ekonominya minus,” kata pria yang juga pernah menjabat sebagai Kapolda Lampung tersebut.

Berdasarkan pengalamannya di Korps Bhayangkara, Edward mengatakan yang menjadi persoalan adalah kemunculan Keraton Agung Sejagat itu membuat orang yang diajak bergabung dijanjikan penghasilan atau gaji tinggi.

Tapi setelah beberapa waktu, janji itu ternyata hanyalah kebohongan. Selain itu, ada pula justru yang memungut uang untuk bisa masuk Keraton yang nantinya bergaji tinggi.

“Yang serius bila ada eksploitasi ekonomi. Masyarakat yang diiming-iming penghasilan lebih, langsung tertarik dan meninggalkan pekerjaannya. Setelah dijalani, janji itu bohong belaka. Ada juga yang memungut uang untuk mereka yang minat masuk Keraton. Kerugian masyarakat ini yang harus didalami Polisi,” kata Edward.

Polisi sendiri segera bertindak setelah viral Keraton Agung Sejagat yang melakukan kirab dan wilujengan pada akhir pekan lalu. Polda Jawa Tengah telah meringkus Toto Santoso (42) dan Fanni Aminadia (41), dua orang yang mengikrarkan diri sebagai Raja dan permaisuri Keraton Agung Sejagat. Penangkapan dilakukan di Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (14/1) petang.

Raja dan permaisuri Keraton Agung Sejagat diduga melakukan perbuatan melanggar pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong berakibat membuat onar di kalangan rakyat dan pasal 378 KUHP tentang penipuan.

“Kita sangkakan kepada pelaku dengan pasal 14 UU No.1 tahun 1946 dan penipuan pasal 378 KUHP. Namun saat ini masih dalam pemeriksaan intensif. Masyarakat dimohon tetap tenang,” tambah Budi.

Menyikapi hal tersebut, Edward menilai modus kejahatan dengan isu Keraton berikut harta karunnya adalah modus lama, namun tetap mudah menggoda masyarakat. Edward pun berharap Pemerintah bisa memasukkan kejahatan tersebut dalam KUHP.

“Masalah budaya, kejahatan budaya sering kita lengah. Padahal untuk menjaga nilai luhur budaya, harus ada perlindungan karena klaim-klaim dari pihak bertanggungjawab yang mengatasnamakan LBH Budaya, pemerhati budaya, aktivis budaya bisa menggerus kebudayaan itu sendiri,” kata Edward.

Sebelumnya, heboh mengenai Keraton Agung Sejagat yang berada di Desa Pogung Jurutenga, Kecamatan Bayan, Purworejo dari akhir pekan lalu. Kehebohan itu muncul setelah pada Jumat (10/1) hingga Minggu (12/1).

Seperti dilansir Antara, Penasihat Keraton Agung Sejagat yang menyatakan bernama Resi Joyodiningrat menegaskan pihaknya bukan aliran sesat. Namun,

yang muncul karena telah berakhir perjanjian 500 tahun yang lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai dengan 2018.

Joyodiningrat mengklaim perjanjian 500 tahun tersebut dilakukan Dyah Ranawijaya sebagai penguasa Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang barat atau bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka tahun 1518

Joyodiningrat menyampaikan dengan berakhirnya perjanjian tersebut, maka berakhir pula dominasi kekuasaan barat–didominasi Amerika Serikat– yang mengontrol dunia setelah Perang Dunia II dan kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagat sebagai penerus Medang Majapahit yang merupakan Dinasti Sanjaya dan Syailendra. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait