Mobilisasi Nelayan ke Natuna Dinilai Bukan Upaya Usir China

Metrobatam, Jakarta – Mobilisasi nelayan dari kawasan Pantai Utara (Pantura) Jawa ke Laut Natuna Utara dinilai bukan upaya untuk mengusir China. Pasalnya, perairan itu adalah laut internasional walaupun cuma Indonesia yang memiliki hak berdaulat di sana sebagai bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)-nya.

Meskipun begitu, pemerintah perlu mempertimbangkan rencana memobilisasi nelayan ke Natuna karena berpotensi memicu gesekan antarnelayan lokal.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyatakan mobilisasi itu adalah upaya untuk memastikan tidak ada lagi aktivitas ilegal.

“Jadi kapal dari manapun sebenarnya boleh saja beroperasi di sana sepanjang memenuhi legalitas serta mematuhi hukum yang berlaku. Dan itu berarti kedaulatan kita dihormati,” ujar Khairul kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/1).

Bacaan Lainnya

Ia pun meminta rencana mobilisasi nelayan itu dilengkapi dengan penguatan peraturan yang bisa melindungi nelayan Indonesia.

“Saya kira optimalisasi nelayan lokal ini harus ditunjang oleh penguatan regulasi agar selain aktivitas para nelayan lokal terlindungi, kita juga dapat memastikan tak ada lagi kapal asing yang beroperasi secara ilegal dan tak mengindahkan hukum,” ujarnya.

Diketahui, ZEE, yang berjarak hingga 200 mil laut dari garis pantai pulau terluar negara, bukanlah bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia dan bukan berada di laut teritorial Indonesia, tapi ada di laut lepas (high seas). Di laut lepas tidak dikenal konsep kedaulatan negara. Pemerintah pun tidak boleh melakukan penegakan kedaulatan di ZEE. Namun, aparat Indonesia di wilayah tersebut bisa melakukan penegakan hukum.

Artinya, nelayan asing pun diperbolehkan untuk mengambil ikan di area ini sepanjang memenuhi aturan yang ditetapkan negara terkait.

Khairul pun menyebut mobilisasi nelayan itu tidak perlu dijaga kapal perang. Menurutnya, Natuna merupakan wilayah yang bebas dieksploitasi nelayan Indonesia. “Untuk apa dikawal? Itu wilayah yang memang menjadi hak kita,” ujar dia.

Khairul menyebut kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lebih untuk mengamankan kawasan di mana Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengelola sumber daya alam yang ada di dalamnya. Sementara kapal KKP, kata dia, memastikan tidak ada upaya pengelolaan secara tidak sah dan melanggar hukum di kawasan ZEE tersebut.

“Jadi ibarat satpam gedung, ya kerja mereka menjaga kelancaran aktivitas di dalam, memantau aktivitas pengunjung dan situasi sekitar, serta melakukan tindakan jika ada aktivitas ilegal dan gangguan,” ujarnya.

Terpisah, pengamat kemaritiman Siswanto Rusdi menyarankan jalur perundingan dengan China dan negara-negara di sekitarnya agar polemik di Natuna tidak terus terjadi.

Bentuknya, membagi kuota penangkapan ikan di perairan Natuna Utara. Pasalnya, ZEE bukan mutlak milik Indonesia.

“[ZEE di Natuna Utara] tidak hak mutlak Indonesia. Hak berdaulat itu tidak mutlak memiliki kekayaan alamnya. Mengelola iya. Tapi orang lain juga dikasih,” ujar dia.

Di sisi lain, Siswandi meminta pemerintah menimbang kembali soal rencana mobilisasi nelayan itu karena ada penolakan nelayan Natuna terhadap kedatangan nelayan Pantura.

“Rencana itu bukan solusi. Malah akan menjadi masalah, paling tidak dengan nelayan Ranai (Natuna),” ujar dia.

Selain itu, dia mengingatkan gelombang di Natuna yang ganas akan menjadi kendala nelayan yang berasal dari wilayah Pantura Jawa untuk melaut di sana. Terlebih, nelayan tradisional tak menggunakan perahu besar.

“Saya tidak merendahkan kemampuan nelayan. Tapi kan setiap perairan berbeda. Nelayan Natuna saja kalau musim angin tidak melaut,” ujarnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait