RI Diminta Perbanyak Alat Pemantau Udara untuk Amankan Natuna

Metrobatam, Jakarta – Indonesia dinilai perlu menambah alat pemantau udara (airborne surveillance system) demi mendeteksi pelanggaran yang terjadi di wilayah perairan terluar, termasuk di perairan Natuna yang belakangan diterobos puluhan kapal pencari ikan China.

Pendiri dan CEO Indonesian Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, menuturkan saat ini pemakaian serta jumlah airborne surveillance yang dimiliki Indonesia masih terbatas. Padahal, penggunaan alat tersebut dapat memangkas biaya pengamanan perairan Indonesia.

“Airborne Surveillance masih terbatas. Kita tidak mungkin menyisir laut untuk patroli setiap saat kan karena bahan bakar mahal sekali kalau untuk menyisir setiap lautan demi menangkap pelanggar,” kata Santosa dalam sebuah diskusi terkait Natuna di Jakarta pada Senin (13/1).

Santosa menuturkan penggunaan Airborne Surveillance juga dapat melengkapi kekurangan Indonesia yang hanya memiliki keterbatasan kapal pengawas dan ukurannya.

Bacaan Lainnya

Di satu sisi, papar Santosa, Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia memiliki 3,25 juta kilometer lautan dan 2,55 juta kilometer zona ekonomi eksklusif (ZEE).

“Ada juga keterbatasan hari operasi patroli. Ini terkait besar kecilnya anggaran yang dimiliki masing-masing lembaga penegak hukum kelautan,” ucapnya.

Santosa mencatat akibat segala keterbatasan, otoritas Indonesia belum optimal dalam mendeteksi setiap pelanggaran yang terjadi di perairan yang berbatasan dengan wilayah asing.

Ia menuturkan perbedaan sikap antar-lembaga pemerintah menjadi penyebab lainnya mengapa penanganan pelanggaran di laut belum optimal dilakukan Indonesia.

Pengamanan laut Indonesia menjadi sorotan belakangan ini setelah gagal mengusir puluhan kapal ikan China yang menerobos masuk dan menangkap ikan di ZEE Indonesia di sekitar Natuna sejak 10 Desember lalu.

Badan Keamanan Laut (Bakamla RI) dan kapal TNI Angkatan Laut sempat memerintahkan puluhan kapal yang dikawal coast guard China untuk keluar dari ZEE Indonesia. Kendati sempat menjauh, kapal-kapal tersebut kembali memasuki perairan Indonesia.

RI telah melayangkan nota protes terhadap China, namun Beijing mementahkannya dengan menyatakan bahwa negaranya memiliki hak historis dan berdaulat atas perairan di sekitar Kepulauan Nansha di Laut China Selatan, yang dianggap Jakarta masih wilayah ZEE Indonesia.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menuturkan pemerintah Indonesia perlu melakukan diplomasi jalur belakang (backdoor diplomacy) untuk berhadapan dengan Tiongkok soal Natuna ini.

Menurutnya, backdoor diplomacy bisa digunakan Indonesia ketika sudah buntu menghadapi China melalui jalur formal.

Selain itu, Hikmahanto menuturkan Indonesia perlu memberdayakan dan memperbanyak nelayan Indonesia untuk berlayar serta memancing di ZEE di sekitar Natuna. Hal itu, katanya, bisa menunjukkan kepada China bahwa tidak hanya negara tapi warga Indonesia juga hadir dalam memberdayakan perairan-perairan terluar negara.

“Pesan yang disampaikan adalah bila nelayan-nelayan China terus berdatangan ini akan membangkitkan sentimen anti-negara China dari publik Indonesia,” kata Hikmahanto.

Hikmahanto khawatir akan muncul sentimen anti-China yang lebih besar lagi jika pemerintah tak dapat membendung kemarahan dan kekhawatiran publik soal kedaulatan di Natuna. Hal itu, menurutnya, dapat mempengaruhi hubungan bilateral RI-China selama ini. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait