Nilai Indonesia Negara Zalim, Pengamat Ingatkan Doktrin Berpura-pura ala ISIS

Metrobatam, Jakarta – Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menangani ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS. Ia menyebut ada kemungkinan mereka berbohong soal paham radikalnya.

“Karena sangat mungkin untuk berbohong. Apalagi ISIS itu punya doktrin yang disebut dengan taqiyah, atau berpura-pura. Jadi bagi mereka boleh berbohong di depan musuh,” kata dia, dalam sebuah Diskusi di Jakarta, Minggu (9/2).

Terlebih, lanjutnya, para kombatan ISIS menilai Indonesia sebagai negara musuh yang zalim.

Di sisi lain, kata Ridlwan, Indonesia belum memiliki prosedur khusus untuk mendeteksi kadar ideologi terorisme seseorang.

Bacaan Lainnya

“Indonesia belum punya prosedur deteksi ideologi. Yang saya maksud prosedur deteksi ideologi adalah kita tidak bisa melihat secara objektif seseorang ini sudah sembuh secara ideologi atau belum,” ujarnya.

Selain itu, Ridlwan menyoroti soal sistem deradikalisasi di Indonesia hingga saat ini belum sempurna. Menurutnya, sejumlah mantan narapidana terorisme malah menjadi penyebar teror.

“Jadi itu yang berbahaya. Jadi, mereka menangis misalnya minta dipulangkan, tanda tangan, tetapi tanya hati nuraninya, ideologinya masih belum sembuh,” ungkap dia.

Kendati demikian, menurut Ridlwan, pemerintah masih dapat memikirkan opsi khusus untuk memulangkan anak-anak dan perempuan. Menurut dia, untuk hal itu, masih dapat dilakukan konseling psikologis untuk menyembuhkan beberapa pihak yang belum menjadi kombatan itu.

“Masih bisa diperbaiki. Tetapi kalau kemudian posisinya wanita dewasa yang tidak lemah, mereka juga sama militannya dengan laki-laki bahkan lebih militan,” pungkas dia.

Sebelumnya, publik dihebohkan dengan wacana pemulangan sekitar 600 orang WNI eks ISIS. Wacana itu kembali muncul ke publik pidato Menteri Agama Fachrul Razi pada Sabtu (1/2) di kawasan Ancol, Jakarta. Namun, Presiden Jokowi secara pribadi menolak wacana itu.

Sebuah Kesesatan

Anggota Komisi I DPR Fraksi NasDem Willy Aditya menilai bahwa pemikiran untuk memulangkan warga negara Indonesia (WNI) eks anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) merupakan sebuah kesesatan.

Menurut dia, pertimbangan untuk memboyong mantan anggota teroris dengan alasan kemanusiaan justru menyesatkan.

“Saya pribadi melihat berpikir untuk mengembalikan 600 (WNI) ini saja sebuah kesesatan,” kata Willy dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (9/2).

Lebih lanjut, ia menyinggung bahwa kelompok teroris kerap kali menggunakan isu kemanusiaan sebagai pintu masuk agar para eks teroris tersebut dapat kembali ke negara asalnya.

“Dalam proses ini kemanusiaan sebagai entry point sebagai cover story,” singgung dia.

Ia menegaskan bahwa terorisme merupakan bagian dari kejahatan kemanusiaan. Oleh sebab itu, Ia meminta agar wacana tersebut tidak hanya dilihat dari satu sisi saja.

Dalam hal ini, kata Willy, WNI yang telah bergabung dengan kelompok teroris sebenarnya telah meninggalkan negaranya untuk sebuah ideologi. Oleh sebab itu, memulangkan WNI eks ISIS tersebut hanya menjadikan sebuah negara menerima penyakit baru.

“Kalau toh mengembalikan teman-teman disini imigran yang mendapat pelanggaran HAM, kekerasan itu lebih layak dikembalikan,” jelas dia.

Oleh sebab itu, kata Willy, wacana pemulangan itu harus dijadikan pemerintah sebagai saat untuk melawan propaganda tentang terorisme tersebut. Dalam hal ini, terkait penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai kejahatan terorisme yang sangat membahayakan.

“Selama ini yang terpapar melalui proses rekrutmen melalui media sosial. Kita kembali gunakan media sosial untuk sosialisasi ini loh dampaknya (terorisme), ini bukan main-main,” ucap Willy.

Sebelumnya, publik dihebohkan dengan wacana pemulangan sekitar 600 orang WNI eks ISIS. Wacana itu kembali muncul ke publik pidato Menteri Agama Fachrul Razi pada Sabtu (1/2) di kawasan Ancol, Jakarta.

Di tempat terpisah, Menko Polhukam Mahfud MD membenarkan sedang ada kajian di internal pemerintah terkait nasib 660 WNI eks ISIS. Mahfu bilang Presiden Jokowi bakal memutuskan hal itu pada Mei 2020.

Korban Terorisme Riau

Sementara Korban serangan terorisme di Indonesia mengaku risau dengan wacana pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) mantan anggota ISIS ke Tanah Air bisa menimbulkan teror baru.

Jikapun rencana itu direalisasikan, para korban berharap ada seleksi ketat terhadap para WNI itu.

Korban serangan teror bom JW Marriot pada 2003, Vivi Normasari, menilai pemulangan WNI eks ISIS dari Suriah tidak bisa dipandang sebelah mata. Butuh kajian sebelum hal itu benar-benar direalisasikan pemerintah.

“Kalau sengaja memulangkan berdasarkan karena ada camp-camp pengungsian, siapa tahu di tempat itu [mereka] bukan karena dasar hati ingin pulang, tapi ya harus dipulangkan ke Indonesia,” kata Vivi di bilangan Daan Mogot, Jakarta Batat, Minggu (9/2).

“Tapi ya rata-rata teman penyintas itu tidak setuju [WNI eks ISIS dipulangkan],” ucap Vivi kemudian.

Ia mengatakan wacana itu sebetulnya mengkhawatirkan karena eks ISIS dan jumlahnya banyak, yaitu mencapai 600-an orang.

Vivi meminta pemerintah menyeleksi ketat para eks ISIS ini agar tak memicu teror baru di dalam negeri.

“Kalau banyak otomatis butuh penanganan ekstra dan screening (penyaringan) dan persiapan matang. Jangan sampai memulangkan mereka malah menimbulkan masalah baru, menimbulkan teror,” ucapnya.

Ia mengaku sudah beberapa kali melihat bagaimana ISIS mencuci otak para anggotanya dari berbagai referensi video.

“Saya pribadi meminta negara hati-hati. Hati-hati memulangkan mereka. Saya sendiri takut, takut kalau ada apa-apa lagi. Jangan sampai dengan kepulangan mereka ada teror baru. Tapi mereka punya hak juga buat pulang ke Indonesia,” ucap Vivi.

Mantan terpidana kasus terorisme Ali Fauzi menyebut pemerintah harus berpikir dua kali sebelum memulangkan WNI mantan ISIS.

Adik kandung Amrozi dan Ali Ghufron, pelaku teror bom Bali itu, mengatakan WNI mantan ISIS boleh pulang dengan syarat harus benar-benar sudah sadar dan berjanji tidak akan kembali menganut radikalisme.

Ali mengatakan pemerintah harus benar-benar menyaring mereka secara ketat agar tidak ‘kebobolan’.

“Tapi kalau mereka dalam ‘zona merah’ (sangat radikal) ya kurang sepakat. Karena kalau tidak ya lebih banyak bahayanya [jika dipulangkan],” kata dia, yang pernah dipercaya sebagai kepala perakitan bom dalam sebuah kelompok terorisme itu.

Di sisi lain, Ali menyampaikan keuntungan pemerintah jika memulangkan WNI eks ISIS. Menurutnya, pemerintah bisa menggali lebih banyak informasi sehingga proses pencegahan faham radikalisme dan terorisme di Indonesia lebih mudah.

“Seperti saya bisa afirmasi membantu pemerintah dan BNPT. Saya pikir kisah mereka bisa dipakai untuk pencegahan di masa mendatang,” ungkap Ali.

Wacana pemulangan sekitar 660 orang WNI eks ISIS mencuat setelah disinggung Menteri Agama Fachrul Razi.

Sementara, Presiden Joko Widodo bakal memutuskannya pada Mei 2020, meski secara pribadi mengaku tidak setuju dengan pemulangan itu. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait