Terlambatnya Peresmian Pasa Ateh Bukittinggi, Ini Penyebabnya kata Wako

Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias

Metrobatam.com, Bukittinggi – Terlambatnya peresmian Pasa Ateh Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat disebabkan adanya pengaduan sebahagian kecil pedagang ke Menteri PUPR bahkan sampai ke Presiden Republik Indonesia.

Demikian diakui oleh Ramlan Nurmatias disela-sela saat meresmikan dua Kantor Lurah dan satu Puskesmas di Pakan Labuah kepada wartawan di Pakan Labuah, Senin (13/7/2020).

Menurut Ramlan, peresmian Pasa Ateh ini sudah dapat dilakukan pada bulan Januari 2020, namun dengan adanya pengaduan dari sebahagian kecil pedagang ke PUPR Jakarta bahkan sampai ke Presiden Republik Indonesia,

“Sudah tentu Pemerintah Kota Bukittinggi harus membalas surat tersebut untuk memberikan penjelasan kepada PUPR Jakarta maupun kepada Presiden Republik Indonesia tentang permasalahannya. “Kami dikadukan kemana-mana, Kemen PUPR, ke Presiden, penegak hukum, ke Pengadilan Tatanegara,” ungkapnya.

Bacaan Lainnya

lanjut Ramlan, Kelompok kecil ini mengatakan tanah Pasa Ateh, adalah tanah milik 40 Nagari Agam bukan tanah orang Kurai. Logikanya apakah mungkin di tanah Kurai ini adapula tanah orang lain, sementara Kurai ini sebuah nagari.

“Pada tahun 1820 Belanda kantornya di Padang mengundang Niniak Mamak Pucuak Bulek Urang Kurai ke Padang, tujuannya Belanda mengundang untuk meminjam Bukik Kandang Kabau akan dijadikan pasar rakyat waktu karena Belanda tahu pemilik dari Bukik Kandang Kabau itu Urang Kurai. Setelah ada kesepakatan Niniak Mamak Kurai dengan Belanda Bukik Kandang Kabau dijadikan pasar, maka pada 1856 dibangunlah pasar, pekerjanya diambil orang-orang dari Agam.  pada waktu itu Belanda menghargai Urang Kurai sebagai pemilik tanah Bukik Kandang Kabau,” jelasnya.

“Selesai pasar dibangun, orang Agam memprotes kenapa tidak mendapat uang distribusi, maka dikabulkan oleh Belanda, namum yang lebih besar dapat adalah Urang Kurai sebagai pemilik tanah, walaupun pasar waktu itu dibangun dengan kayu, itulah sejarah singkat,” ujarnya.

“Kami dipanggil ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Padang, untuk menerangkan tentang status tanah Pasa Ateh, dan di Sertifikatnya tanah Pasa Ateh oleh Sekretaris Daerah Bukittinggi.Seluruh tanah pemerintah yang mengajukan untuk di sertifikatkan hanya bisa dilakukan oleh Sekda, hal ini terkat jabatan,” ungkapnya.

“Dulu adalah wilayah Sumatera Tengah, ibukotanya Bukittinggi. Kemudian keluar Undang-Undang Presiden pertama pembentukan kota besar, 1. Bukittinggi, 2 Padang dan 3. Jambi. Seluruh barang bergerak maupun tidak bergerak aset Kota Besar Bukittinggi diserahkan kepada Pemerintah Kota (Pemko) Bukittinggi, termasuk pegawai, dan utang piutang, hal yang sama juga berlaku kepada Kota Besar Padang dan Jambi.,” tuturnya.

“Jadi Walikota adalah pengabdian, kalau mau kaya jadi pengusaha jangan jadi Walikota. “Saya ingatkan kepada seluruh staf agar berkerja sesuai aturan,” Pungkas Ramlan.(basa)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *