METROBATAM.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan penarikan kembali terhadap permohonan Zulferinanda yang mendalilkan syarat pendidikan dan batas usia bagi calon kepala daerah yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pada Sidang Pengucapan Ketetapan Nomor 130/PUU-XXII/2024 ini, Ketua MK Suhartoyo membacakan bahwa Mahkamah telah menerima permohonan pada 10 September 2024. Namun, pada 14 Oktober 2024 Pemohon mengajukan surat pencabutan terhadap perkara ini.
Kemudian, Mahkamah menggelar Sidang Pendahulan pada Rabu, 16 Oktober 2024 dengan agenda meminta konfirmasi permohonan pencabutan yang dihadiri Pemohon secara daring. Pada persidangan, Pemohon membenarkan pencabutan perkara yang diajukannya tersebut. Terhadap penarikan ini dengan berpedoman pada Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) UU MK, serta Rapat Permusyawaratan Hakim, maka pada 21 Oktober 2024 memutuskan pencabutan atau penarikan kembali permohonan ini.
“Menetapkan, mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan ketetapan.
Sebagai informasi, seorang warga bernama Zulferinanda mengujikan syarat pendidikan dan batas usia bagi calon kepala daerah yang dimuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dan huruf e UU Pilkada. Menurut Pemohon, mensyaratkan tingkat pendidikan calon kepala daerah paling rendah hanya sebatas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat tidak sejalan dengan semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab seorang kepala daerah dalam pandangan Pemohon harus memiliki konsep pemikiran untuk membuat program pengembangan SDM, membangun kemandirian ekonomi di daerah, hingga merumuskan arah kebijakan ekonomi daerahnya.
Kemudian, mengenai batas usia, menurut Pemohon, syarat batasan usia paling rendah 25 tahun untuk calon kepala daerah ini seakan-akan memberi kesan keberadaan kepala daerah dalam struktur organisasi negara ini tidak begitu penting. Sebab dengan mudahnya melegalkan seseorang yang masih berusia di bawah 30 tahun untuk memimpin daerah kabupaten/kota.
“Jika yang bersangkutan dengan usia segitu hanya lulusan SLTA atau sederajat pula, kira-kira faktor apa yang bisa dijadikan argumentasi untuk tetap memajukannya sebagai calon kepala daerah. Kontribusi seperti apa yang bisa diberikannya untuk daerah yang akan dipimpinnya kelak. Jangankan untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, kemampuan yang bersangkutan dalam memimpin sebuah tim besar yang bernama pemerintahan daerah saja, masih diragukan,” kata Zulferinanda dalam sidang perdana yang dilaksanakan pada Senin (30/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Untuk itu, Pemohon dalam petitum memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga perlu mengubah atau mengganti bunyi pada Pasal 7 ayat (2) huruf c tersebut dari “berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat” menjadi “berpendidikan paling rendah sarjana atau sederajat”.
Berikutnya, Pemohon juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945, sehingga perlu menghapus frasa “25 (dua puluh lima) tahun” pada bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf e tersebut sehingga menjadi “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota”. (humas.mkri)














