Metrobatam.com, Lingga – Edisi Minggu (25/05/2025. Konflik lahan di Desa Tinjul, Kabupaten Lingga, kembali memanas setelah Kepala Desa (Kades) Amren secara mengejutkan mengubah sikap terkait dokumen kepemilikan tanah. Dari semula bersikukuh pada Sertifikat Hak Pakai Djawatan Agraria 1962 sebagai bukti sah turun-temurun, Amren kini justru mengakui Surat Sporradik 2023 sebagai dokumen resmi. Peralihan sikap ini mencuatkan kecurigaan publik, terutama setelah ia menyebut keterlibatan Brimob Polda Kepri sebagai penerima hibah lahan dalam proses penerbitan surat tersebut.
Dalam konfirmasi ke awak media (21/5), Amren membenarkan bahwa Surat Sporradik 2023 telah dikonsultasikan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Ini sudah kite konsultasikan same pihak BPN, saat kite mau menerbitkan sporadik untuk hibah pade pihak Brimob Polda Kepri,” ujarnya.
Pernyataan ini kontradiktif dengan sikapnya awal tahun 2024, di mana ia hanya mengakui sertifikat 1962. Alasan di balik “hibah” ke Brimob pun tidak dijelaskan secara transparan, memantik spekulasi tentang adanya transaksi terselubung atau intervensi pihak tertentu.
Hal ini langsung memicu reaksi keras dari masyarakat. Ruslan, perwakilan Masyarakat Peduli Kabupaten Lingga, menuding perubahan sikap Kades Amren sebagai langkah yang tidak wajar. *“Mengapa Surat Sporradik baru diungkap sekarang? Ada apa dengan sertifikat 1962 yang selama ini dipegang? Ini semua harus diaudit independen!”* tegasnya dalam jumpa pers (21/5).
Ia mendesak BPN dan DPRD Lingga segera memanggil Amren untuk klarifikasi, serta membuka mediasi terbuka yang melibatkan semua pihak.
Dari perspektif hukum, ahli agraria menegaskan bahwa Sertifikat 1962 tetap berlaku selama tidak dibatalkan secara resmi. Sementara itu, Surat Sporradik 2023 wajib melalui verifikasi ketat oleh BPN untuk memastikan tidak ada tumpang-tindih atau pelanggaran prosedur.
“Jika kedua dokumen bertentangan, langkah hukum seperti judicial review atau mediasi di pengadilan agraria harus ditempuh,” jelas salah satu ahli.
Namun, kejelasan ini belum direspons oleh BPN Lingga yang hingga kini masih bungkam.
Keterlibatan Brimob Polda Kepri dalam narasi hibah lahan semakin memperkeruh situasi. Masyarakat mempertanyakan: Apa kepentingan Brimob dalam sengketa ini? Apakah ada pertukaran kepentingan antara oknum institusi dengan pemegang surat sporradik? Pertanyaan-pertanyaan ini menguatkan tudingan kolusi, terutama mengingat konflik sebelumnya di Desa Tinjul juga melibatkan laporan pengrusakan lahan dan ancaman senjata tajam ke Polres Lingga.
Sebagai langkah darurat, warga mendesak audit menyeluruh terhadap proses penerbitan Surat Sporradik 2023, termasuk menelusuri alasan tiba-tibanya Amren “beralih dokumen”. Ruslan bahkan mengancam akan menggugat secara hukum jika masalah ini tidak kunjung ada kejelasan.
Di tengah vakumnya penjelasan resmi, konflik ini tidak hanya menguji integritas pemerintahan desa, tetapi juga kredibilitas penegakan hukum agraria di Kabupaten Lingga. Masyarakat menunggu tindakan nyata dari pihak berwenang sebelum ketegangan yang telah berlarut-larut ini berubah menjadi eskalasi yang lebih masif.
(Sumber: Wawancara, dokumen resmi, dan laporan perkembangan sengketa lahan Desa Tinjul)














