Metrobatam.com – Kita kini hidup di bawah rezim anomali: hukum diabaikan, opini dirayakan. Kebijakan publik yang seharusnya tegak di atas fondasi yuridis yang kokoh, kini justru terseret arus viral dan diuji keabsahannya di ruang timeline digital. Inilah fenomena Kebijakan “Cek Ombak”. Ia dilempar ke gelanggang umum tanpa dasar hukum yang eksplisit, hanya untuk mengukur sejauh mana kemarahan publik dapat ditoleransi. Ketika gelombang kritik meninggi, ia ditarik mundur tanpa pertanggungjawaban. Praktik semacam ini bukan sekadar menunjukkan proses yang cacat, melainkan sebuah proklamasi: kepastian hukum telah ditumbangkan oleh popularitas, dan Mahkamah Konstitusi kita seolah dipaksa bersidang di media sosial.
Ancaman di Balik “Cek Ombak”: Merobek Asas Legalitas
Prinsip Asas Legalitas adalah benteng pertahanan terakhir negara hukum. Ia mewajibkan kekuasaan untuk selalu tunduk pada undang-undang. Kebijakan “Cek Ombak” adalah upaya mendobrak benteng ini dengan menyamarkan tindakan ilegal sebagai keterbukaan. Setiap tindakan yang digagas pejabat harus memiliki mandat, namun kebijakan “cek ombak” seringkali hanyalah kekuasaan tanpa surat izin resmi. Ketika sebuah kebijakan diterapkan bahkan dalam tahap sosialisasi serius tanpa penunjukan norma hukum yang definitif, ia otomatis jatuh pada kategori penyalahgunaan wewenang atau ultra vires. Kita seolah menyaksikan negara bertindak sebagai pemain tunggal yang tidak mau diikat oleh aturan main yang ia buat sendiri. Selain itu, hukum seharusnya berfungsi sebagai kompas, bukan benda elastis yang memuai dan menyusut sesuai selera politik. Bagi dunia usaha dan masyarakat, kebijakan yang berubah-ubah karena kalah di media sosial menciptakan prahara ketidakpastian. Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya materiil, tetapi juga hilangnya kepercayaan mendasar bahwa negara mampu menjamin stabilitas regulasi.
Tragedi Administrasi Publik dan Logika Kekuasaan
Mengapa pemerintah memilih jalur berbahaya ini? Karena ini adalah shortcut yang memperlihatkan kelemahan perencanaan yang akut. Prosedur formal, seperti penyusunan Naskah Akademik, bertujuan memastikan kebijakan didasarkan pada logika hukum dan data, bukan polling cepat. Ketika pemerintah melewatkan langkah ini, proses hukum ditukar dengan engagement rate. Keputusan untuk mencabut atau melanjutkan kebijakan lantas tidak lagi disandarkan pada argumentasi yuridis, melainkan pada taksiran risiko kegaduhan politik. Ini bukan tata kelola yang baik, melainkan logika kekuasaan yang pragmatis yang rela mengorbankan integritas hukum demi meredam gejolak sesaat.
Jalan Pulang: Menegakkan Kewibawaan Konstitusi
Untuk membersihkan praktik buruk ini, Pemerintah harus memutus rantai kebiasaan “cek ombak” dan kembali pada rel konstitusional. Pertama, Penyajian Transparan dan Utuh mutlak diperlukan; setiap sosialisasi kebijakan yang berdampak luas harus disertai dengan lampiran atau penunjukan tegas pada pasal dan undang-undang yang menjadi payungnya. Dasar hukum harus menjadi pembuka kata, bukan catatan kaki yang dicari-cari kemudian. Kedua, perlu Perkuat Uji Publik Resmi dengan menggunakan mekanisme formal dan terstruktur, di mana masukan dicatat dan dipertimbangkan secara formal, bukan sekadar teater publik tanpa konsekuensi hukum yang mengikat. Terakhir, Disiplin Hierarki harus dijunjung tinggi; pejabat harus menahan diri dari memaksakan kebijakan krusial dengan instrumen hukum yang lemah, terutama jika kebijakan tersebut menantang batas-batas Undang-Undang yang lebih tinggi.
Penutup
Negara hukum menjanjikan kemewahan prediktabilitas. Kita tidak bisa membiarkan kebijakan publik diobral murah sebagai komoditas yang nilainya ditentukan oleh like dan dislike. Komitmen terhadap legalitas harus menjadi sumpah tertinggi, melampaui segala manuver politik. Hanya dengan cara itu, kita dapat memastikan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi kembali menempati singgasana keadilan, dan bukan tergantikan oleh trending topic di Media Sosial.
Penulis: Arsih Zul Adha, Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara Ilmu Hukum UMRAH





