Tenerima Gelar Doktor Kehormatan, Mega Elaborasi Pidato Bung Karno dan Zhou Enlai

Fuzhou – Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri hari ini menerima gelar doktor kehormatan (Honoris Causa) dalam Diplomasi Ekonomi dari Fujian Normal University (FNU), Fuzhou, Tiongkok. Dalam pidato pengukuhan, Mega mengangkat terminologi ‘diplomasi kebebasan ekonomi menuju perdamaian dunia’.

Pidato ini mengelaborasi pemikiran Proklamator sekaligus Presiden RI pertama, Soekarno (Bung Karno) dengan Perdana Menteri (PM) pertama Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Zhou Enlai. Menurut Mega, ekonomi bisa menjadi alat berdiplomasi, namun harus dilandasi oleh prinsip politik, dan prinsip politik yang dikutipnya adalah buah pemikiran Bung Karno dan Zhou Enlai.

Saat menjelaskan substansi diplomasi yang dimaksudnya, Megawati berkisah soal hubungan Bung Karno dan Zhou Enlai. Dia ingat betul bagaimana di tahun 1955 Bung Karno menugaskan PM Indonesia, Ali Sastroamidjojo, bertemu dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (PRT). Tugasnya untuk menyampaikan undangan resmi menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955.

“Bung Karno menyampaikan sebuah pesan, ‘tibalah saatnya bagi Tiongkok untuk membuka pintunya bagi dunia’. Kemudian, pemerintah PRT menunjuk utusan khususnya, PM Zhou Enlai,” kata Mega dalam orasi ilmiahnya di Fujian Normal University, Fuzhou, Tiongkok, Senin (5/11).

Bacaan Lainnya

Mega mengungkapkan, ada empat hal yang disampaikan Bung Karno saat berpidato di pembukaan KAA. Pertama, rakyat di manapun di kolong langit ini, tidak ingin ditindas dan dieksploitasi oleh bangsa lain.

Kedua, rakyat di manapun menuntut kebebasan dari kemiskinan dan ketakutan yang disebabkan ancaman. Ketiga, rakyat di manapun menuntut kebebasan untuk menggerakkan aktivitas sosial yang membangun dalam upaya meningkatkan kebahagiaan individu maupun masyarakat. Keempat, Rakyat dimanapun menuntut kebebasan berbicara untuk menuntut hak-haknya, yaitu demokrasi.

“Sementara itu dalam pembukaan KAA, Zhou Enlai menyampaikan pidato yang menegaskan ‘Tiongkok tiba di sini untuk menggalang persatuan, bukan konflik’,” papar Mega.

Zhou, kata Mega, juga menegaskan delegasi Tiongkok datang bukan untuk menyebarluaskan ideologi politik maupun sistemnya. Yang dicari adalah persamaan, untuk menyingkirkan penderitaan dan bencana akibat kolonialisme.

Megawati bersama rekan dan keluarga saat menerima Honoris Causa di FuzhouMegawati bersama rekan dan keluarga saat menerima Honoris Causa di Fuzhou Foto: Erwin Dariyanto/detikcom

Mega menambahkan, Zhou Enlai kemudian mengusulkan lima prinsip yang dikenal sebagai Lima Prinsip Perdamaian Zhou Enlai. Yakni saling menghormati kedaulatan satu sama lain, tidak saling menyerang, tidak saling mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain, kesetaraan dan kerja sama yang saling menguntungkan, dan hidup berdampingan dengan damai.

Lima Prinsip ini menjadi bagian penting dan menjadi semangat Dasa Sila Bandung. Yang merupakan 10 prinsip yang membawa gelombang kemerdekaan dari bangsa-bangsa terjajah di Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Menurut Mega, prinsip-prinsip itu sangat kontekstual pada 63 tahun setelah KAA 1955 dilaksanakan, khususnya ketika isu-isu perekonomian global menghiasi tata dunia saat ini. Sebab, diplomasi ekonomi, tidak dapat dipisahkan dari diplomasi politik.

Lalu keputusan politik apa yang menjadi dasar?

“Bagi saya, diplomasi ekonomi harus berdiri di atas apa yang telah dituliskan oleh para pendiri bangsa,” tegas Megawati.

Dalam konteks itulah, kata Mega, pemikiran Bung Karno serta Zhou Enlai menjadi kontekstual.

Ketua Umum DPP PDIP itu juga mengungkapkan, Bung Karno menegaskan bahwa prinsip politik internasional yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh Indonesia adalah ‘politik bebas dan aktif’. Bebas berarti tidak terikat dengan pihak manapun, sementara aktif berarti terlibat dalam perdamaian dunia secara aktif dan berkesinambungan.

“Ini jugalah yang menjadi prinsip dalam diplomasi politik dan ekonomi yang saya yakini dan laksanakan,” kata Megawati.

Dilanjutkannya, setiap negara ingin memiliki ekonomi yang maju dan kuat. Kendati demikian, hal itu tidak berarti bahwa diplomasi politik yang dilaksanakan merupakan suatu strategi untuk menyelamatkan bangsanya sendiri dan mencederai bangsa-bangsa lain.

“Bukanlah itu cara yang dimandatkan oleh para pendiri bangsa kita,” tegasnya.

Pengukuhan gelar kehormatan untuk Mega dihadiri Presiden FNU, Prof Wang Changping, Ketua Dewan FNU, Li Baoyin, para guru besar, senat, dan dewan kampus.

Sementara dari pihak RI, hadir Djauhari Oratmangun, Duta Besar Indonesia untuk RRT. Keluarga Megawati, sahabat, serta sejumlah petinggi PDI Perjuangan juga hadir. Yakni putra dan menantu Prananda Prabowo dan Nancy Hendriaty Shrindani, Ketua DPP PDIP Rokhmin Dahuri, Anggota DPR Herman Hery, dan Hendropriyono.

Ini adalah gelar honoris causa kedelapan untuk Megawati. Sebelumnya, Megawati sudah menerima tujuh gelar doktor kehormatan dari Universitas Waseda Tokyo di Jepang (2001); Moscow State Institute of International Relation di Rusia (2003); Korea Maritime and Ocean University di Korea Selatan (2015); Universitas Padjadjaran Bandung (2016); Universitas Negeri Padang (2017); dan Mokpo National University di Korea Selatan (2017), Doktor Honoris Causa bidang politik pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (2018). (mb/detik)

Pos terkait