Trauma Korban Peristiwa Tanjung Priok Belum Hilang

Metrobatam, Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai buruk Peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang hingga kini belum menemukan keadilan bagi korban.

Syahar Banu anak korban Aminatun Najariyah mengatakan selama 35 tahun setelah peristiwa berlalu, ibunya masih trauma dan menyimpan kenangan buruk akan perlakuan aparat saat menangkapnya.

Aminatun adalah satu-satunya perempuan yang menjadi korban penangkapan sepihak oleh aparat dalam peristiwa Tanjung Priok.

“Ibu saya masih suka mimpi buruk soal tentara, teriakan-teriakan minta tolong tahanan laki-laki itu,” kata Banu di Jakarta, Kamis (12/9).

Bacaan Lainnya

“Dampaknya masih ada sampai sekarang,” tambahnya.

Sebagai anak korban, Syahar masih berharap pemulihan dan reparasi bagi para korban. Bahkan, ia berharap ada bantuan pemulihan bagi psikologis ibunya.

Ia pun mempertanyakan keberadaan negara dalam menangani dampak-dampak peristiwa masa lalu. Menurutnya, dampak penangkapan ibunya masih dapat dirasakan oleh dirinya terutama dalam perekonomian keluarga.

Selain itu, faktor depresi yang dialami oleh korban juga menurun dan dialami juga oleh keluarga. “Ini pentingnya negara untuk membantu bukan hanya korban, tapi juga keluarga korban,” tuturnya.

Di lain sisi, ia juga menyayangkan pembebasan terhadap terdakwa dari peristiwa tersebut.

“Itu adalah penghianatan terhadap kemanusiaan,” katanya.

Monumen Pengingat

Korban belum mendapatkan hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan (reparasi) yang adil. KontraS, Amnesty Internationa Indonesia (AII), dan IKOHI juga mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk terlibat dalam upaya penyelesaian peristiwa.

“Kami mendesak ke Pemerintah Provinsi khususnya, karena fokus (peristiwa) ada di Jakarta untuk membuat sebuah monumen atau medium pengingat yang dipakai masyarakat untuk mengingat peristiwa yang terjadi di masa lalu dan menjadi pembelajaran penting supaya kasus-kasus serupa tidak terjadi di masa depan,” kata Staf Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Dimas Bagus Arya Sapura.

Menurutnya, hal itu penting karena hingga kini masih banyak persepsi keliru yang beredar di masyarakat mengenai peristiwa Tanjung Priok sebagai aksi kerusuhan yang mengancam kedaulatan negara di masa lalu.

Bahkan, pada Agustus lalu Kepala Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf mengunggah sebuah video yang menyebut Peristiwa Tanjung Priok sebagai sebuah kerusuhan dan aksi yang dapat memecah negeri.

Selain hal itu, menurut para pegiat HAM, pemerintah belum mampu memberikan pemulihan bagi korban yang dirugikan secara materiil dan yang bukan.

Pemulihan akan hak-hak tersebut tidak dapat terselenggara hingga kini karena diduga proses peradilan yang menyatakan Peristiwa Tanjung Priok bukan sebagai pelanggaran kasus HAM berat.

“Tapi, sebenarnya ada banyak terobosan atau inisiatif yang bisa dilakukan oleh pemerintah melalui LPSK, Komnas HAM, maupun institusi lainnya untuk bisa menghadirkan mekanisme pemulihan bagi korban tanpa menunggu putusan peradilan,” imbuhnya.

Menurut Arya, dalam lima tahun pemerintahan Jokowi, tidak ada sentuhan khusus yang berarti dalam menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

Persitiwa Tanjung Priok sendiri terjadi pada 1984 dan diduga melibatkan tindak pembunuhan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh aparat keamanan. Berdasarkan laporan Komnas HAM, setidaknya peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari 55 orang korban luka dan 23 orang meninggal.

Hingga kini, belum ada kejelasan mengenai perkembangan peristiwa yang sudah terjadi selama 3,5 dekade. Padahal, penyelesaian kasus HAM ini masuk dalam janji kampanye Jokowi 2014 silam yang tertuang dalam Nawacita.

Bahkan dalam janjinya itu, Jokowi menyebutkan kasus-kasus yang bakal diselesaikan selama masa pemerintahannya.

“Berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965,” demikian bunyi Nawacita poin keempat Jokowi-JK. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *