Metrobatam.com, Lingga, – Edisi 30 Mei 2025 Polemik lahan di Desa Tinjul, Kabupaten Lingga, kembali mencuat. Sengketa lama kini mendapat babak baru dengan kemunculan Surat Sporradik tahun 2023. Surat tersebut tiba-tiba menggantikan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Nomor KAD.39/HP.II/SK/1962 yang selama ini dipegang oleh Kepala Desa Tinjul, Amren. Alih-alih menyelesaikan konflik, pergantian dokumen ini justru menimbulkan tudingan manipulasi dan pelanggaran hukum.
Sengketa lahan ini berawal dari klaim turun-temurun yang dipegang Amren atas sebidang tanah luas di Tinjul. Bertahun-tahun, Amren menjadikan SHP 1962 sebagai dasar legalitas kepemilikannya. Namun, rumor beredar bahwa SHP tersebut pernah diperjualbelikan secara gelap oleh sejumlah oknum, termasuk Amren sendiri.
Di tengah kontroversi tersebut, muncul dokumen baru: Surat Sporradik terbitan 2023. Amren mengklaim surat ini telah “dikonsultasikan dengan BPN” dan menjadi dasar untuk menghibahkan lahan kepada Brimob Polda Kepri. Padahal, pada awal tahun ini, ia justru menolak sporradik serupa yang diajukan oleh warga. Perubahan sikap ini memicu kecurigaan luas: mengapa sporradik baru ini baru muncul sekarang?.

Saat dikonfirmasi, Amren tidak dapat menunjukkan nomor surat, tanggal terbit, maupun luas lahan yang tercantum di dalamnya. “Saya perlu buka arsip dulu,” ujarnya berulang kali tanpa memberikan rincian yang pasti. Hal ini membuat warga semakin geram dan menduga sporradik tersebut cacat prosedur, lahir dari praktik kolusi dan nepotisme. “Ini akal-akalan untuk mengubah hak pakai menjadi hak milik,” kata Ruslan, aktivis Masyarakat Peduli Kabupaten Lingga.
Ahli hukum agraria menegaskan bahwa SHP 1962 tidak bisa serta-merta berubah status menjadi sertifikat hak milik hanya dengan “konsultasi” ke BPN. Menurut mereka, proses verifikasi BPN harus melalui pengecekan lapangan dan kajian historis yang ketat. “Sporradik bukanlah sulap yang bisa langsung mengubah status lahan,” kata seorang ahli yang enggan disebut namanya.
Sengketa ini juga merembet ke ranah pidana. Pada April lalu, bentrokan antara warga dan aparat keamanan terjadi, mengakibatkan empat warga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh merusak kebun sawit dan mengancam dengan senjata tajam. Warga menilai langkah ini sebagai kriminalisasi, sementara Amren, yang dokumennya dipertanyakan, tetap bebas tanpa tersentuh hukum.
Merespons situasi ini, warga mendesak audit independen oleh BPN dan Pemerintah Kabupaten Lingga untuk mengusut kejanggalan dokumen baru tersebut. Mereka juga meminta adanya mediasi terbuka yang melibatkan semua pihak, serta penelusuran ulang sejarah tanah sejak masa Djawatan Agraria. “Kades Amren harus dipanggil oleh DPRD,” tegas Ruslan. “Kami butuh kejelasan, bukan dokumen yang muncul tiba-tiba.”
Hingga saat ini, dua dokumen itu – SHP 1962 dan Sporradik 2023 – saling berhadapan tanpa kepastian hukum yang jelas. Sementara itu, warga Tinjul terus menunggu langkah tegas yang adil dan berpihak pada kebenaran.
Awalludin














