Metrobatam.com, Lingga – Aroma dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mencuat dari balik jeruji besi Lapas Kelas III Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Sejumlah mantan narapidana mengungkapkan pengalaman kelam selama ditahan, di mana mereka mengaku menjadi korban praktik pungutan liar (pungli), intimidasi, hingga bisnis gelap yang diduga melibatkan Kalapas eks Jaka Putra beserta lingkaran dekatnya.
Kasus ini bermula dari insiden perkelahian antar narapidana yang berujung pada intimidasi terhadap napi penjaga kantin. Ironisnya, napi tersebut dipaksa menanggung hutang piutang 11 narapidana yang sudah dipindahkan ke lapas lain. Peristiwa itu membuka tabir gelap praktik yang ditengarai sudah lama berjalan di dalam lapas.
“Semua ada tarifnya. Dari kamar, handphone, sampai urusan biologis napi. Kalapas dan ajudannya yang atur,” ungkap seorang mantan napi.
Pengakuan sejumlah sumber menyebutkan, layanan kamar VIP jadi bisnis utama. Jika kamar biasa dijejali 25–30 orang, kamar VIP hanya dihuni 4–5 orang dengan tarif Rp5 juta per kepala.
Tidak berhenti di situ, fasilitas ponsel juga menjadi komoditas. Sebuah unit ponsel dihargai Rp2 juta, dengan biaya keamanan bulanan mencapai Rp5 juta agar tetap bebas digunakan tanpa khawatir dirazia.
Yang lebih mengejutkan, dugaan praktik pemenuhan kebutuhan biologis juga terjadi. Narapidana disebut bisa mendatangkan pasangan, istri, hingga pekerja seks komersial (PSK) dengan tarif Rp3,5 juta sekali kunjungan.
“Ada kamar khusus yang dipakai dari pagi sampai sore. Tapi sebelumnya napi wajib setor Rp3,5 juta,” beber salah seorang narasumber kepada wartawan Metrobatam.com, Senin (29/9/2025).
Tekanan lain datang dari ancaman pemindahan ke Lapas Batam dan regester F. Napi yang menolak menyetor uang tambahan disebut langsung mendapat ancaman akan dipindahkan.
“Kalau tak kasih, saya diancam dipindahkan ke Batam sehingga saya terpaksa membayar Rp2 juta,” ujar seorang mantan napi.
Bahkan, praktik “bersih-bersih kilat” diduga selalu dilakukan setiap kali ada sidak. Semua barang terlarang dikumpulkan sementara sehingga hasil sidak selalu nihil.
Selain pungli, dugaan tindak kekerasan juga mencuat. Narapidana yang menolak membayar disebut sering mendapat intimidasi, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi.
“Kami pernah disiram air septictank kalau melawan,” ungkap salah seorang sumber.
Alih-alih menuntaskan dugaan praktik kotor tersebut, Kalapas Jaka Putra justru dipindahkan ke tempat lain. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa rotasi tersebut bukan untuk penegakan hukum, melainkan sekadar cara meredam sorotan publik.
Jika benar adanya praktik pungli, judi, hingga bisnis jasa seks di dalam Lapas Dabo Singkep, maka kasus ini bukan hanya pelanggaran etik, melainkan juga indikasi kejahatan terorganisir yang mencederai institusi negara.
Awalludin.














