Kaji Ulang UU ITE dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

Keterangan Foto: Pernyataan Presiden Jokowi yang meminta kritik dari masyarakat berujung desakan revisi UU ITE. (Foto: Lukas - Biro Pers)

Metrobatam.com, Jakarta – Pemerintah tengah mempertimbangkan kesepakatan baru terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam webinar bertajuk “Menyikapi Perubahan UU ITE” yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Kamis (25/2/2021) lalu.

“Pemerintah tengah mempertimbangkan untuk membuat resultante atau kesepakatan baru terkait kontroversi di dalam UU ITE,” ujarnya. Menteri Mahfud mengatakan, kesepakatan baru itu bisa diwujudkan apabila dalam kajian, pemerintah menemukan substansi aturan bersifat karet (haatzai artikelen). Saat ini pemerintah sudah membentuk Tim Kajian UU ITE. Tim ini bertugas untuk mengkaji pasal-pasal yang dianggat karet, baik dari sisi implementasi maupun substansinya.

Pernyataan Menko Polhukam ini merupakan tindaklanjut dari keinginan Presiden Jokowi yang sebelumnya meminta kepada DPR RI untuk bersama-sama pemerintah merevisi UU ITE bila penerapannya tidak memenuhi rasa keadilan. “Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama (Pemerintah) merevisi UU ITE ini,” kata Presiden Jokowi yang disampaikan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin malam (15/2).

Bisa dimengerti kegundahan Presiden Jokowi – dan juga kerisauan banyak orang di negeri ini – terhadap pelaksanaan UU ITE ini yang dianggap sudah banyak makan korban. Para pihak saling mengadu dan memperkarakan persoalannya ke ranah pidana, yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara restorative justice. Belum lagi persoalan tafsir terhadap pasal-pasal yang dianggap karet di UU ITE yang dianggap bermasalah – khususnya pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, serta pasal 28 ayat 2 tentang menyebarkan ujaran kebencian.

Bacaan Lainnya

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Keadilan restoratif penting dikaitkan dengan korban kejahatan, karena pendekatan ini merupakan bentuk kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.

Presiden Jokowi memberikan penekanan agar dalam penerapan UU ITE harus tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan. Bila rasa keadilan itu tidak terwujud, Presiden akan meminta parlemen untuk menghapus pasal-pasal karet yang ada dalam UU ITE tersebut. Sebab, kata Presiden Jokowi, pasal-pasal dalam UU ITE tersebut bisa menjadi hulu dari persoalan hukum.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah merespons permintaan Presiden Jokowi terkait implementasi UU ITE, yang menurut Presiden “dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan”, dengan menerbitkan Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya  Berietika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif tertanggal 19 Februari 2021. Lewat SE tersebut, Kapolri memerintahkan kepada penyidik polisi memiliki prinsip bahwa hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penanganan perkara UU ITE. Kapolri juga meminta penyidik mengedepankan pendekatan restorative justice dalam penegakan hukum.

Selang beberapa hari kemudian, Kapolri menerbitkan Surat Telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1/2021 tertanggal 21 Februari 2021 yang berisi tentang pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE. Dalam Surat Telegram yang ditandatangani Wakabareskrim Irjen Wahyu Hadiningrat atas nama Kapolri itu, antara lain juga berisi klasifikasikan perkara penanganan UU ITE yang bisa diselesaikan dengan restorative justice dan mana yang tidak – beserta rujukan pasal-pasalnya.

Kasus yang dapat diselesaikan dengan restorative justice, yaitu pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan. Hal ini tidak berlaku untuk tindak pidana yang berpotensi memecah belah bangsa. Surat Telegram itu juga menyatakan pelapor harus merupakan korban secara langsung, dan tidak bisa diwakilkan.

Kapolri juga berjanji bahwa kepolisian akan lebih selektif memproses pengaduan pelanggaran UU ITE. SE dan Surat Telegram Kapolri itu berlaku untuk semua penanganan perkara baik yang sudah dalam proses maupun yang baru masuk.

Merumuskan Kesepakatan Baru

Menteri Mahfud dalam Webinar PWI itu juga menyampaikan, bahwa kemungkinan kesepakatan baru dalam UU ITE tersebut mencakup dua aspek. Pertama, kriteria implementasi. Misalnya, kriteria sebuah pasal agar dalam pelaksanaannya dapat diterapkan secara adil. Kedua, menelaah kemungkinan dilakukannya revisi UU ITE. “Jika memang di dalam undang-undang itu ada substansi-substansi yang berwatak haatzai artikelen, berwatak pasal karet maka bisa diubah dan bisa direvisi,” kata Menteri Mahfud lagi.

“Revisi itu dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam undang-undang itu,” tutur Menteri Mahfud.

Sebelumnya, tiga kementerian sudah duduk bersama menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi mengenai pengkajian kriteria implementatif dan rumusan substansi UU ITE. Kementerian tersebut adalah: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), dan Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham). Mereka dalam waktu dekat akan mengambil langkah strategis dengan membentuk tim pelaksana kajian. Tim diharapkan menyelesaikan kajiannya dalam dua hingga tiga bulan ke depan.

 Menurut Menkominfo Johnny G. Plate, Indonesia telah memilih berdemokrasi, menganut kebebasan pers, kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat. Karenanya semua syarat mutlak itu, Indonesia berada pada titik tidak balik lagi atau point of no return. “Yang menjadi tugas kita bersama adalah menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi, kualitas kebebasan pers, kualitas berserikat, kualitas berkumpul dan kualitas menyampaikan pendapat. Dan payung hukum hulu seperti yang disampaikan oleh Bapak Presiden adalah salah satu di Undang-Undang ITE,” jelasnya.

Mengenai adanya keberatan tentang pasal dalam UU ITE yang dianggap krusial, multitafsir atau pasal karet, Menteri Kominfo menegaskan hal itu telah diajukan pihak yang berkeberatan ke Mahkamah Konstitusi melalui mekanismejudicial review. “Kurang lebih sebanyak 10 kali dan mendapatkan penolakan. Namun demi manfaat untuk kehidupan bermasyarakat dan kehidupan sosial, maka terbuka selalu kemungkinan dalam rangka menambah, mengurangi, mengubah untuk penyempurnaan undang-undang itu sendiri.”

Berkaitan dengan arahan Presiden, Menteri Johnny menambahkan bahwa Kementerian Kominfo yang dipimpinnya akan menangani kajian dan pedoman pelaksanaan Undang-Undang ITE khususnya pada pasal krusial seperti pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 UU ITE.

“Pedoman pelaksanaan undang-undang ITE ini bukan norma hukum baru. Jangan sampai keliru ditafsirkan seolah-olah membuat satu tafsiran terhadap undang-undang, karena sudah jelas penjelasan atas undang-undang sudah ada di bagian penjelasan undang-undang, dan penafsiran akhir dalam pelaksanaan judicial system kita bagi masyarakat pencari keadilan adalah menjadi kewenangan hakim,” tandasnya.

Menurutnya Pedoman Pelaksanaan UU ITE yang dibuat dinilai sebagai acuan bagi aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti UU ITE apabila disengketakan atau terjadi sengketa yang berkaitan dengan regulasi tersebut. Baik itu oleh Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia atau lembaga-lembaga lainnya di ruang fisik, dan tentunya oleh Kominfo dalam menjaga ruang digital.

Menteri Johnny menambahkan, “suatu keniscayaan bagi Indonesia saat ini bertransformasi ke ruang digital. Sehingga di era transfomasi digital dibutuhkan payung hukum yang memadai guna menjaga dan mengawal ruang digital digunakan dan dimanfaatkan untuk hal-hal yang yang aman, bersih, kondusif, produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.

“Di sisi yang lain harus mampu menjamin pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Untuk itu, Saya juga menggarisbawahi betul jangan sampai dalam pelaksanaan dua tim berdampak pada kekosongan payung hukum di dalam ruang digital,” ujarnya.

 Menurut Menteri Kominfo, tidak bisa dimungkiri, ruang digital merupakan ruang masyarakat yang hampir semua aktivitasnya seperti aktivitas di ruang fisik. “Masyarakat kita telah bertransformasi dari phyical space ke digital space, karenanya payung-payung hukum yang menyangkut tata kelola kehidupan kemasyarakatan tidak saja di dalam ruang-ruang fisik, tetapi juga di dalam ruang-ruang digital,” tegasnya.

Menurutnya lagi, di samping UU ITE, undang-undang terkait lainnya juga dibutuhkan untuk menjaga agar ruang digital kita bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, dan dapat menjamin keadilan bagi pencari atau pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat.

Menteri Johnny menegaskan pemerintah akan kerja maraton dengan melibatkan komponen masyarakat, para ahli akademisi dan lingkungan kerja kementerian/lembaga terkait termasuk menerima masukan dari awak media dalam rangka menghasilkan suatu pedoman pelaksanaan yang dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan dalam penegakan hukum di Indonesia.

Menunggu Naskah Akademik dan Draf Revisi UU ITE

Berdasarkan UU No.15/2019 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan jika ingin Program Legislasi Nasional 2021 maka rancangan revisi UU ITE harus disertai dengan dengan naskah akademik dan draf revisi UU.

Alhasil memang kerja cepat dari tim yang dibentuk oleh Menko Polhukam Mahfud MD – yang terdiri dari masing-masing kantor Menko Polhukam, Kemenkominfo dan Kemenkumham – itu sangat dinantikan yang ujungnya nanti akan menghasilkan naskah akademik dan draf revisi UU ITE.

Dengan demikian RUU tentang revisi UU ITE ini bisa segera dimasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di tahun 2021 ini. Apalagi ruang untuk memasukkan RUU revisi UU ITE ini masih terbuka mengingat Prolegnas 2021 belum disahkan di Rapat Paripurna DPR. “Pemerintah segera mengirim surat ke DPR untuk memintan penjadwalan ulang rapat kerja penetapan prolegnas,’’ kata Achmad Baidowi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR.

Kalau DPR sudah menerima surat dari Pemerintah, kata Baidowi lagi, maka DPR dan Pemerintah akan kembali menggelar ulang rapat kerja untuk membahas RUU prioritas,’’ tegasnya lagi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *