Metrobatam.com, Lingga – Desa Tinjul, Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, kembali menjadi pusat perhatian publik akibat konflik perseteruan dua kubu sengketa lahan yang belum menemukan titik terang hingga kini, Minggu (10/05/2205).
Perselisihan ini dipicu oleh transaksi jual beli tanah yang hanya berstatus Surat Hak Pakai (SHP), untuk keperluan perkebunan sawit bukan Sertifikat Hak Milik (SHM), sehingga memunculkan keraguan terhadap legalitasnya.
SHP yang dipersoalkan merupakan kutipan surat yang diterbitkan oleh Djawatan Agraria pada 11 Mei 1962 sebagai dasar kepemilikan seperti yang di jelaskan oleh Kepala Desa Tinjul dalam penjelasannya kepada berbagai pihak.
Namun, keabsahan dokumen tersebut menjadi perdebatan karena pada masa itu belum terdapat struktur kelembagaan resmi seperti Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Kepulauan Riau, yang baru terbentuk setelah pemekaran dari Provinsi Riau pada tahun 2002.
Dalam penelusuran dan dikutip dari berbagai sumber Kantor Jawatan Inspeksi di wilayah yang kini dikenal sebagai Kepulauan Riau belum ada secara khusus pada tahun 1962. Pada masa itu, wilayah Kepulauan Riau masih merupakan bagian dari Provinsi Riau, yang dibentuk pada tahun 1957 setelah pemekaran dari Provinsi Sumatera Tengah. Urusan pengawasan dan inspeksi di wilayah ini ditangani oleh struktur pemerintahan Provinsi Riau secara keseluruhan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai legalitas dan otoritas penerbit dokumen tersebut, terlebih pasca pemekaran Provinsi Riau pada tahun 2002, yang menempatkan BPN Provinsi Kepulauan Riau secara resmi di Tanjungpinang.
Menurut ketentuan hukum pertanahan yang berlaku, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 dan PP No. 40 Tahun 1996, tanah dengan status SHP tidak dapat diperjualbelikan secara bebas.
Setiap alih hak atas tanah hak pakai harus melalui prosedur resmi serta mendapatkan persetujuan dari BPN. Apabila transaksi dilakukan tanpa prosedur yang sah, maka dapat menimbulkan implikasi hukum yang serius, termasuk sanksi administratif dan gugatan perdata.
Lebih jauh, jika ditemukan unsur pemalsuan dokumen atau penipuan dalam transaksi tersebut, pelaku dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, dengan ancaman pidana masing-masing hingga empat dan enam tahun penjara.
Hak Pakai merupakan bentuk hak terbatas atas tanah negara dan tidak memiliki kekuatan hukum yang setara dengan Hak Milik. Oleh karena itu, keberadaan SHP yang diterbitkan lebih dari enam dekade lalu harus diverifikasi dan dikonversi mengikuti ketentuan yang berlaku saat ini untuk menjamin legalitasnya.
Pemerintah daerah mengimbau masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan transaksi jual beli tanah. Calon pembeli diharapkan melakukan pengecekan terlebih dahulu ke kantor BPN guna memastikan keabsahan dan status hukum tanah yang akan diperjualbelikan, demi menghindari kerugian di kemudian hari.
Awalludin














