Pengembang Rumah Rakyat Tanggung ‘Biaya Siluman’ Rp6,5 Miliar

Metrobatam, Jakarta – Indonesia Property Watch (IPW) menduga terdapat sejumlah oknum nakal dari kalangan pemerintah daerah (pemda) yang membebankan biaya tidak resmi atau ‘biaya siluman’ kepada pengembang rumah rakyat bersubsidi. Biaya tersebut diperkirakan mencapai Rp6,5 miliar untuk sekitar seribu unit rumah.

Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda menjelaskan, berdasarkan hasil investigasi IPW, biaya tak resmi tersebut membuat setiap unit rumah bersubsidi harus menanggung biaya tambahan sekitar Rp6,5 juta. Biaya tambahan tersebut mencapai sekitar 4,64 persen dari harga rumah bersubsidi senilai Rp140 juta per unit.

“Bahkan, ada yang mencapai sampai 15 persen. Artinya, pengembang harus mengeluarkan dana cadangan di muka sebesar Rp6,5 miliar dan ini hampir dilakukan oknum di semua pemerintah daerah,” ujar Ali dalam publikasi IPW, dikutip Senin (29/5)

Biaya tak resmi tersebut menurut dia, antara lain mencakup biaya perizinan, biaya sertifikasi, biaya koordinasi antara oknum pejabat pemda, hingga biaya preman. Padahal, dana yang digunakan untuk biaya tak resmi tersebut seharusnya digunakan pengembang untuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).

Bacaan Lainnya

Kegiatan CSR dapat berupa pembangunan fasilitas tambahan di perumahan rakyat sehingga memiliki berbagai fasilitas penunjang dan lebih tertata. Biaya tersebut menurut Ali, bahkan cukup jika digunakan untuk perbaikan rumah rakyat atau renovasi.

Menurut perhitungan IPW, renovasi rumah membutuhkan biaya sekitar Rp20 juta per unit. Dengan demikian, biaya tak resmi yang dikeluarkan pengembang sebenarnya dapat digunakan untuk merenovasi 300 rumah.

“Secara wilayah pun harusnya akan memberikan dampak positif bagi pemda setempat, bukan hanya memperkaya diri sendiri,” kata Ali.

Tumpulnya Deregulasi

Masih maraknya biaya tak resmi ini dinilai IPW sebagai bukti masih tumpunya penyederhanaan perizinan di sektor perumahan. Padahal, penyediaan perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) merupakan salah satu tujuan utama Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid XIII yang dirilis pemerintah.

“(PKE jilid XIII) ternyata tidak menyentuh praktik siluman para oknum terkait. Pemangkasan biaya perizinan pun ternyata tidak membuat biaya yang dikeluarkan pengembang menjadi lebih rendah,” imbuh Ali.

Hal ini, menurut IPW, kemungkinan disebabkan adanya dugaan sejumlah oknum nakal bahwa kemudahan biaya perizinan akan mendatangkan keuntungan yang lebih banyak bagi pengembang. Dugaan ini membuat para oknum tersebut lebih bergairah untuk mengenakan biaya-biaya tak resmi pada pengembang.

Para pengembang pun menurut dia, mau tidak mau harus menuruti oknum nakal tersebut agar seluruh perizinan bisa lancar dan tak memakan waktu tambahan untuk membangun perumahan rakyat.

“Yang lucunya lagi, ketika dipersalahkan, maka pengembang yang akan dituduh ‘bermain’, sedangkan sebenarnya, mereka hanya terpaksa karena dibuka celah untuk ‘bermain’,” pungkasnya. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait