Imparsial Sebut Hukum Bias Mayoritas, Intoleransi Dapat Legitimasi

Metrobatam, Jakarta – Lembaga pengamat hak asasi manusia, Imparsial, menyebut pelanggaran hak terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) terjadi karena masalah hukum yang bias mayoritas. Peneliti Imparsial, Amelia, menyebut sejumlah aturan menjamin hak KBB, namun aturan lain justru mengancam kebebasan itu sendiri.

Amelia juga menyoroti kalau kebijakan pemerintah terkait KKB masih bias mayoritas, lebih mengakomodasi kehendak kelompok agama mayoritas dan mengabaikan prinsip dan standar normatif HAM. Imparsial menemukan 31 kasus pelanggaran dalam kurun waktu November 2018 – November 2019.

“Tidak jarang kebijakan yang dibuat pemerintah bias ‘majoritarianism’, mengakomodir kehendak kelompok keagamaan,” kata dia, di Jakarta, kemarin.

“Berbagai peraturan tersebut dalam banyak laporan telah terbukti gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama dan bahkan digunakan oleh kelompok intoleran untuk melegitimasi praktik intoleransi kepada kelompok minoritas,” lanjutnya.

Bacaan Lainnya

Sejumlah aturan yang dianggap membatasi kemerdekaan beragama diantaranya, Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama.

Selain itu ada juga SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Ahmadiyah, PBM 2 Menteri Tahun 2006 tentang Rumah Ibadah, dan keberadaan berbagai peraturan daerah seperti SK Gubernur/ Bupati, Perda atau SKB yang membatasi kemerdekaan beragama kelompok minoritas.

“Berbagai peraturan tersebut dalam banyak laporan telah terbukti gagal menjamin hak atas kemerdekaan beragama dan bahkan digunakan oleh kelompok intoleran untuk melegitimasi praktik intoleransi kepada kelompok minoritas,” dikutip dari keterangan Imparsial.

Ini terbukti dengan masih terjadinya tindakan intoleransi dan pelanggaran KBB. Misalnya, penutupan rumah ibadah, pembubaran kegiatan beribadah, penyesatan hingga penyebaran kebencian atas nama agama, aturan yang mewajibkan penggunaan busana agama tertentu di sekolah publik.

Menurut catatan Imparsial, dalam kurun waktu satu tahun belakangan terdapat 31 kasus intoleransi atau pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan yang menyebar di 15 provinsi di Indonesia.

“Dampak dari situasi sebagian masyarakat seperti kelompok-kelompok minoritas agama tidak bisa menjalankan kemerdekaan beragama mereka secara aman. Bahkan tidak sedikit lahir korban jiwa akibat tindakan pelanggaran KBB dan intoleransi tersebut,” kata Imparsial.

Di tempat yang sama, Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar menyentil soal peristiwa pelarangan upacara peringatan kematian Ki Ageng Mangir di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Bantul, Yogyakarta.

Saat itu warga Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul membubarkan upacara ritual penghormatan kepada leluhur Ki Ageng Mangir. Upacara Odalan atau Peringatan Maha Lingga Padma Buana dilakukan kediaman salah seorang warga di desa tersebut. Upacara dibubarkan warga dengan alasan tidak mengantongi izin.

Menurut dia, peristiwa tersebut merupakan akumulasi dari tindakan intoleransi yang tidak jelas penanganan hukumnya di Yogyakarta. Ia pun mencontohkan pembakaran Gereja Baptis Indonesia Saman Sewon, Bantul, tahun 2015.

“Kalau untuk konteks Yogyakarta itu soal penegakan hukum yang tidak efektif sehingga berpotensi berulang,” ucap Erwin.

Sikap pemerintah terhadap intoleransi tersebut, ucap Erwin, dapat difokuskan terhadap dua hal yakni regulasi dan ekspresi politik.

Menurut dia, di Yogyakarta terdapat dualisme kebijakan yang antara pemerintah daerah dan pusat saling berseberangan. Ia menyebut desentralisasi lah yang menjadi pangkal kebijakan pemerintah daerah bertentangan dengan pemerintah pusat. Ia pun menyebut terdapat perbedaan pandangan politik antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. (mb/cnn indonesia)

Pos terkait