Ekuador Kehabisan Peti Mati, Jenazah Dibiarkan Tergeletak di Jalan

Metrobatam, Jakarta – Pandemi virus Corona membuat angka kematian di kota Guayaquil, Ekuador, meningkat. Gara-gara pandemi virus bernama resmi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) itu kota Guayaquil sampai kehabisan peti mati. Alhasil, warga setempat terpaksa menggunakan peti mati berbahan kardus.

Otoritas kota Guayaquil mengaku telah menerima donasi 1.000 peti mati berbahan kardus dari produsen lokal. Donasi peti mati itu digunakan di dua areal pemakaman setempat.

“Ini agar mereka bisa memenuhi permintaan. Tidak ada peti mati di kota atau itu sangat mahal,” kata juru bicara balai kota Guayaquil seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (6/4/2020).

Pengusaha yang memiliki sejumlah rumah duka, Santiago Olivares pandemi virus Corona membuat permintaan peti mati meningkat tajam. Olivares pun tidak malu mengatakan bahwa perusahaannya tidak bisa memenuhi permintaan tersebut.

Bacaan Lainnya

“Saya menjual 40 peti yang saya punya di cabang pusat kota, dan 40 lainnya dari kantor pusat saya. Saya harus memesan 10 lagi di akhir pekan dan mereka sudah kehabisan,” ujar Olivares.

Olivares mengungkapkan, ketidakmampuan memenuhi pesanan peti mati diakibatkan oleh kebijakan jam malam selama 15 jam di kota tersebut. Kebijakan jam malam itu membuat perusahaan Olivares tidak bisa menghasilkan bahan-bahan baku dasar untuk pembuatan peti mati, seperti kayu dan logam. Peti mati termurah di kota Guayaquil dijual seharga US$ 400.

“Peti mati kardus akan sangat membantu dalam memberikan pemakaman yang layak bagi orang-orang yang meninggal selama darurat kesehatan ini,” kata Wali Kota Guayaquil lewat akun Twitter.

Virus Corona yang mewabah di kota Guayaquil juga menimbulkan masalah yang tidak kalah pelik. Pekan lalu, banyak warga mem-posting video-video di media sosial yang memperlihatkan jasad-jasad tergeletak di jalan-jalan.

Pemerintah Ekuador telah mengerahkan tentara dan polisi untuk mengambil 150 jasad yang tergeletak di jalanan dan rumah-rumah warga. Wakil Presiden Ekuador Otto Sonnenholzner meminta maaf atas kondisi tersebut.

“Kami telah melihat gambar yang seharusnya tidak pernah terjadi dan sebagai pelayan publik, saya minta maaf,” kata Sonnenholzer seperti dilansir AFP.

Dibiarkan Tergeletak di Jalan

Sebelumnya muncul gambar dan video dari kota Guayaquil di Ekuador, Amerika Tengah, tentang jenazah yang diletakkan di pinggir jalan dan menunggu berhari-hari sebelum diurus. Di Provinsi Guaya, di mana Guayaquil berada, hingga 1 April tercatat 60 orang meninggal dan 1.937 positif.

Angka ini adalah yang terkonfirmasi resmi dan tidak memperhitungkan orang yang mungkin meninggal akibat Covid-19 tanpa sempat menjalani tes. Pemakaman umum di sana ikut ambruk di tengah terjadinya pandemi.

Sedemikian rupa sehingga Presiden Ekuador, Lenn Moreno, membentuk tim gabungan untuk membantu pemulasaraan jenazah. Pekan terakhir Maret saja, lebih dari 300 jenazah yang meninggal di rumah, diangkut polisi.

BBC Mundo berbicara dengan beberapa keluarga korban dan tetangga mereka. Hasilnya seperti digambarkan dalam novel karya Joseph Conrad, The Heart of Darkness: horor, horor.

Berikut kesaksian seorang warga Guayaquil Jesica Castaeda.

“Pamanku meninggal 28 Maret, dan tiada yang membantu mengurus jenazahnya. Kata rumah sakit, mereka tak punya pengangkut jenazah, dan kami tak bisa meminjam karena ia meninggal di rumah. Kami memanggil ambulans, tapi cuma diminta bersabar. Sekarang jenazahnya masih di tempat tidur, sama seperti waktu dia meninggal. Tak ada yang berani menyentuhnya”.

Seorang perempuan Guayaquil lain melaporkan ayahnya meninggal di pangkuannya sesudah 24 jam di rumah.

“Rumah sakit tak pernah mengetes ada tidaknya virus corona. Mereka cuma bilang sudah menjadwalkan, dan menyuruh ayah minum parasetamol. Kami harus menyewa layanan privat untuk membawa jenazah ayah karena pemerintah tak merespon.

Situasi ini tak hanya berdampak pada mereka yang meninggal akibat Covid-19. Wendy Noboa bercerita tentang tetangganya yang meninggal pada 29 Maret.

“Ia jatuh dan meninggal karena luka di kepala. Saya panggil ambulans lewat 911 tapi mereka tak datang. Ia tinggal bersama ayahnya yang berumur 96 tahun. Akhirnya ia dibiarkan di apartemen seharian sampai ada anggota keluarga datang membawa peti untuk memakamkan. Tapi mereka juga tak bisa melakukannya karena tak ada dokter yang datang untuk menandatangani sertifikat kematian. ”

Banyaknya kasus begini membuat wartawan Blanca Moncada, dari koran Expreso, bercuit di Twitter meminta informasi dari orang-orang yang mengalami situasi seperti ini.

“Saya mlihat banyak warga putus asa harus menunggu hingga 72 jam bahkan lebih sampai pihak berwenang mengambil jenazah yang berada di rumah mereka. Saya ingin mengukur dampak tragedi ini karena yang dialami Guayaquil saat ini adalah awan yang kelam.”

Konfrontasi politik

Komandan Angkatan Laut Nasional, Darwin Jarrn, yang memegang komando militer dan kepolisian di Provinsi Guaya mengatakan pada BBC Mundo bahwa hingga tanggal 2 April, korban meninggal dunia semuanya di Guayaquil.

“Kementerian Kesehatan mengirim sertifikat kematian ke rumah sakit, polisi dan komisi transportasi membawa jenazah-jenazah itu ke dua pemakaman, yaitu Parques de La Paz di Aurora dan Metropolitan Pantheon di arah pantai. Militer yang memakamkan mereka,” kata Jarrn.

Namun yang terjadi akhir Maret ini di kota itu, ada 300 lebih jenazah yang diambil di berbagai rumah oleh kepolisian Ekuador, menurut koran El Comercio.

Krisis ini sudah membuat walikota Guayaquil, Cyntia Viteri, berhadap-hadapan dengan pemerintah nasional.

Ia sedang berada dalam karantina karena positif virus corona. Tanggal 27 Maret ia sudah menyerukan kelemahan pemerintah nasional.

“Mereka tidak mengangkat jenazah dari rumah-rumah tinggal. Mereka meninggalkannya di tepi jalan, atau diletakkan di depan rumah sakit. Tak ada yang bersedia mengangkat. Keluarga-keluarga pasien mengetuk pintu rumah sakit minta agar bisa dirawat, tapi tak ada lagi tempat tidur untuk merawat.”

Selain jenazah di rumah-rumah, kota ini juga menghadapi mimpi buruk yaitu jenazah yang ditinggalkan di jalan.

Jesica Zambrano wartawan koran El Telegrafo bercerita kepada BBC Mundo pengalamannya di Guayaquil.

“Saya dan pasangan pergi belanja ke toko dan menemukan jenazah di pinggir jalan di Pedro Carbo dan jalan Urdaneta. Sebelumnya ada yang bilang ada jenazah lain tak jauh dari situ. Kami terbiasa melihat para pengemis tidur di jalan, tapi akibat krisis ini, banyak mereka yang meninggal di pusat kota.”

“Tamparan terhadap tradisi “

Tanggal 28 Maret, koran El Universo melaporkan pemerintah kota merencanakan pemakaman massal, tapi ini tak mendapat sambutan. Ahli sosiologi asal Guayaquil, Hector Chiriboga menjelaskan alasannya kepada BBC Mundo.

“Di kota ini orang menunggu saudara mereka yang tinggal dan kerja di Eropa untuk kembali. Jenazah lalu dimandikan dan didandani. Sedangkan kremasi sangat dipandang buruk oleh Gereja Katolik, katanya.

“Pemakaman massal itu pukulan bagi masyarakat yang punya ritual dalam kematian dan pemakaman. Mereka Kristen atau Katolik dan mereka akan sakit hati seandainya ritual pemakaman tidak dijalankan.

Jorge Wated, kepala gugus tugas pemakaman yang dibentuk Presiden Moreno berkata kepada BBC Mundo bahwa ia tak akan menerima tugas dari presiden apabila diperintahkan untuk membuat pemakaman massal.

“Saya menerima tugas ini untuk membawa mereka yang meninggal dari rumah dan rumah sakit di Guayaquil, dan mereka yang tak bisa mendapat layanan pemakaman bisa dimakamkan dengan layak secara Kristen, di halaman gereja di kota ini,” katanya.

Namun Wated menyatakan keluarga korban tidak boleh menghadiri pemakaman. Ketimpangan sosial salah satu penyebab krisis kesehatan di Ekuador.

“Banyak orang meninggal di rumah. Normalnya, dokter memastikan penyebab kematian lalu jenazah dipulasarakan oleh rumah jenazah. Namun kini semua sedang panik dan orang-orang menduga setiap orang meninggal di Guayaquil disebabkan oleh virus corona. Maka rumah jenazah tidak mau mengurus,” papar Grace Navarrete, ahi kesehatan masyarakat dari Ecuadorian Society of Public Health.

Apa yang terjadi di rumah jenazah selama krisis ini ditulis wartawan Susana Morn dari situs berita Plan V dalam artikelnya “Mati dua kali di Guayaquil.”

Morn mewawancara pemilik rumah jenazah yang menutup usahanya selama wabah.

“Saya sudah tua dan tak ingin mempertaruhkan nyawa saya dan keluarga demi uang tak seberapa,” kata salah seorang pemilik rumah jenazah.

Ketakutan ini juga ada di dalam keluarga kata Dr. Navarrete.

“Ketika ada yang meninggal di rumah, tak ada yang berani memegang jenazahnya. Kota ini panas dan menyebabkan jenazah cepat membusuk. Saya mendengar kasus jenazah yang diletakkan di pinggir jalan bersama kasurnya sekaligus karena anggota keluarga tak tahan”.

Bagi Wated ini adalah faktor yang menghasilkan skenario terburuk.

“Rumah jenazah tutup, bahkan mereka tak punya lagi pegawai; pemakaman tak punya kemampuan menampung segitu banyak jenazah dalam waktu singkat; warga tak bisa meninggalkan rumah untuk menjalankan prosedur pemakaman; jumlah kematian meningkat di antara mereka yang diduga Covid-19 tapi tak menjalani tes. Ini semua menghasilkan bom waktu.”

Kesehatan Masyarakat

Dokter Ernesto Torres yakin tragedi ini harus dipandang sebagai masalah kesehatan masyarakat. Katanya ini “jauh melampaui kemampuan kedokteran, dan harus melibatkan kepolisian dan kepedulian pemerintah terhadap kesehatan warganya”.

Menurutnya, rumah sakit harus menanggung semua krisis ini dan ini tidak berjalan lancar di lapangan.

“Kini rumah sakit memadamkan kebakaran dengan menggunakan ember air. Kita bisa melakukannya kalau apinya kecil, tapi ini membutuhkan brigade pemadaman yang melibatkan seluruh masyarakat, kata Torres.

Adriana Rodrguez, profesor bidang hukum hak asasi manusia di Universidad Andina berpendapat tak mengejutkan hal ini terjadi di masyarakat yang punya ketimpangan sosial tinggi.

“Guayaquil adalah kota dengan 17% penduduknya hidup dalam kemiskinan ekstrem. Jenazah-jenazah itu memperlihatkan tubuh mana yang penting, dan mana yang tidak penting. Pemotongan anggaran kesehatan masyarakat membuka mata kita bahwa ada manusia yang dianggap tidak penting sama sekali”.

Namun Jorge Wated berpendapat, apa yang terjadi di Guayaquil bisa terjadi di mana saja di Amerika Latin.

“Ini juga terjadi di negara lain di Amerika Latin. Misalnya yang terjadi di Argentina sekarang. Semuanya rumit, tergantung masing-masing negara. Kita berusaha bertindak secepat mungkin”.

Namun 30 Maret lalu sebuah video beredar menggambarkan sekelompok orang di Guayaquil membakar ban memprotes agar pengangkatan jenazah di percepat.

Menurut laporan itu, jika tidak ada tindakan, “penduduk mengancam akan membakar jenazah-jenazah itu sebagai bentuk protes. (mb/detik)

Pos terkait