Mengenal Keris Kiai Naga Siluman yang Akhirnya Pulang ke Indonesia

Metrobatam, Jakarta – Keris Kiai Naga Siluman belakangan ramai diperbincangkan setelah akhirnya pulang ke Indonesia usai ratusan tahun tersimpan di Belanda. Keris ini merupakan milik pahlawan nasional, Pangeran Diponegoro.

Penyerahan keris tersebut dilakukan pemerintah Belanda kepada Duta Besar Indonesia, I Gusti Agung Wesaka Puja di Den Haag pada Selasa (3/3/2020). Keris yang ditempatkan di dalam kotak kaca itu juga sempat dipamerkan di hadapan Raja Belanda Willem Alexander dan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat pada Selasa (10/3).

Sebelum dipulangkan, keris Kiai Naga Siluman ini telah puluhan tahun dicari. Keris ini diyakini tersimpan di Museum Volkenkunde di Leiden namun tak teridentifikasi keris yang manakah yang merupakan milik Pangeran Diponegoro itu. Penelitian pun dilakukan sejak 1884 dimana orang pertama yang melakukan pencarian itu adalah kurator museum yang kemudian menjadi direktur museum, Pieter Pott.

Pencarian ini terus berlanjut, dilakukan Prof. Susan Legene dari Vrije Universteit Amsterdam, Johanna Leifeldt pada 1917 dan Tom Quist pada 2019. Dari penelitian keempat tokoh ini, semula ditemukan tiga buah keris yang diduga milik Pangeran Diponegoro. Akan tetapi peneliti terakhir yaitu Tom Quist menyatakan bahwa dua dari tiga keris itu bukanlah milik sang pangeran. Pendapatnya ini sama dengan temuan Leifeldt.

Bacaan Lainnya

Akhirnya, satu keris tersisa yang saat ini disebut Kiai Naga Siluman itulah yang diyakini sebagai kepunyaan Pangeran Diponegoro. Dilansir dari situs Universitas Gadjah Mada (UGM), keyakinan itu didasarkan pada tiga dokumen pendukung.

Dokumen pertama adalah surat korespondensi yang menyebutkan bahwa Kolonel J.B Clerens menawarkan sebuah keris dari Diponegoro pada Raja Belanda Willem I. Keris ini disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden (KKVZ) lalu pada tahun 1883 diserahkan ke Museum Volkenkunde Leiden. Sayangnya saat keris diserahkan, catatan katalog koleksi dari KKVZ itu hilang, termasuk catatan Keris Kyai Naga Siluman.

Kemudian pada dokumen kedua yaitu surat kesaksian Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (panglima perang Diponegoro) dijelaskan bahwa Pangeran Diponegoro memberikan kerisnya itu pada Kolonel Cleerens.

Memiliki Lekuk 13

Sementara itu dokumen ketiga adalah pengakuan dari Raden Saleh, pelukis penangkapan Diponegoro. Dalam catatan yang dituliskan di sisi kanan surat kesaksian Sentot Prawirodirdjo itu disebutkan bahwa ia memastikan bahwa ciri-ciri keris merujuk pada Keris Kiai Naga Siluman.

Raden Saleh pada 1981 menjelaskan alasan keris itu disebut sebagai Kiai Naga Siluman sebagaimana diwartakan detikX. Kata ‘kiai’ adalah gelar penghormatan seperti kata ‘tuan’. Kemudian ‘nogo’ (naga) adalah simbol orang Jawa bagi seorang pemimpin. ‘Siluman’ adalah simbol orang yang memiliki kemampuan tinggi dan bisa menghilang.

Keris ini memiliki 13 lekukan dengan gandhik berbentuk kepala naga.Keris ini memiliki 13 lekukan dengan gandhik berbentuk kepala naga. (Foto: Koleksi pribadi Empu Totok Brojodiningrat)

Keris ini memilik luk (lekuk) 13, gandhik (bagian di bawah pangkal keris yang berbentuk bulat) berbentuk kepala naga dengan mahkota, sumping, kalung, dan badan naga berlapis emas. Keris itu menyimbolkan agar pemimpin jangan sewenang-wenang karena semua yang dimilikinya adalah samparan ing urip atau titipan sementara.

Sebelum dibawa ke Indonesia, keris ini kembali diverifikasi oleh sejarawan UGM, Sri Margana pada Februari 2020. Saat melakukan verifikasi terjadi perbedaan pendapat antara Margana dengan tim peneliti Belanda.

Pihak Belanda memperkirakan ukiran gambar binatang di bilah keris itu adalah singa, harimau, dan gajah. Namun Margana menjelaskan, “tapi, setelah saya melihat langsung objeknya, saya dapat memastikan bahwa binatang yang diinterpretasikan sebagai gajah, singa, dan harimau itu sebenarnya adalah Naga Siluman Jawa.”

“Jadi dhapur (rancang bangun)-nya dhapur Nagasasra, tapi karakteristik yang membuat saya yakin itu Naga Siluman yakni pada bagian ganja (bagian pangkal dari bilah keris) ada gambar Naga Siluman,” kata Margana pada detikcom.

Sementara itu, di balik kembalinya Keris Kiai Naga Siluman ini, ada sejumlah pihak yang meragukan keris itu adalah milik Pangeran Diponegoro. Salah satunya Kurator Museum Keris Nusantara di Solo, Ki Ronggajati Sugiyatno yang memaparkan sejumlah alasan yang membuatnya ragu. Dia menegaskan keris yang dikembalikan ke Indonesia tersebut adalah keris dhapur Nagasasra Kamarogan.

Ia meyakini Pangeran Diponegoro tidak mungkin tak memahami rancang bangun atau dhapur keris. Sebagai seorang pangeran yang pernah menjadi penasihat utama raja (Hamengku Buwono V), Pangeran Diponegoro diyakini sangat paham perihal keris.

Orang yang juga ragu adalah keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro yaitu Roni Sodewo.

“Kalau melihat fisiknya (keris yang dikembalikan Pemerintah Belanda ke Indonesia) itu dhapur keris nagasasra, itu kalau bicara dhapur ya,” papar keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo, kepada detikcom.

Namun Roni juga tidak memastikan bahwa keris itu bukan keris Diponegoro. Sebab, bisa jadi nama keris naga siluman sebagai milik Diponegoro selama ini tidak merujuk pada dhapur, melainkan sebutan. Dalam tradisi Jawa, memang ada kebiasaan menamai benda-benda khusus dengan nama dan bahkan gelar sesuai dengan kemauan pemiliknya.

Terkait dengan gelar yang disematkan pada keris itu, Empu Toto Brojodiningrat yang pernah mengunjungi Museum Volkenkunde itu menduga nama Kiai Naga Siluman itu merupakan nama atau julukan dari keris tersebut, bukan merupakan identifikasi dhapur naga siluman.

Totok juga mengatakan, kemungkinan memang nama Naga Siluman dipilih Pangeran Diponegoro tanpa menghubungkan dengan jenis dhapur-nya. Sementara kemungkinan lainnya, pelukis Raden Saleh selaku penulis arsip, kurang memahami masalah keris.

“Bisa saja sebenarnya itu (dhapur) nagaraja tapi punya karena pengalaman yang ampuh, misalnya bisa menyelamatkan dari kepungan, supaya tidak kelihatan dari musuh, ya bisa saja keris itu dinamakan Naga Siluman. Seperti saya juga, keris ini kok berbeda dengan yang lainnya, saya beri nama ki apa, kyai apa,” ujarnya.

Akan tetapi dengan adanya perbedaan pendapat mengenai keris ini, Totok menengahinya dengan mengajak semua pihak mengambil sisi positif dari kembalinya artefak kuno Indonesia dari Belanda.

“Saya sendiri tidak melihat itu sebagai keris peninggalan Diponegoro, tetapi lebih pada artefak. Banyak keris pahlawan yang ada di situ. Apapun, ambil positifnya saja, yang penting artefak kita bisa kembali,” ungkapnya. (mb/detik)

Pos terkait